SEKILAS MILITER
DALAM POLITIK
A.
Pembuka
Dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, hubungan sipil-militer yang
harmonis merupakan hal yang sangat penting bagi suatu bangsa karena berpengaruh
terhadap ketahanan nasionalnya, bahkan menjadi prasyarat utama yang menentukan
maju mundurnya suatu negara. Militer memerlukan dukungan pemerintah dalam hal
alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk
membangun kekuatan angkatan perang dalam rangka mengatasi ancaman yang akan
timbul (Santoso dalam Juliani, 2008). Begitu juga sipil membutuhkan militer sebagai perlindungan terhadap keamanan.
Dalam
konteks Indonesia, sejak proklamasi kemerdekaan, konstelasi politik dan
maraknya peraturan politik tidak terlepas dari pengaruh keterlibatan kelompok militer memang
serangkaian proses menunjukkan kadar keterlibatan mereka dan peranannya sebagai
kekuatan politik. Kemudian pada masa orde baru membangun opini masyarakat
tentang sejarah ABRI, seakan-akan ABRI pada masa lalu sudah ikut menentukan
nasib negara secara politik. Dari sinilah kemudian dibangun sistem pemerintahan
yang militeristik dengan mengikutsetakan ABRI dalam politik penyelenggaraan
negara.
B. Militer
Militer
dalam bahasa inggris military” adalah
the soldiers, the army, the armend forces
(Hornby dalam Juliani, 2008) yang dalam bahasa Indonesia diartikan
prajurit atau tentara : angkatan
bersenjata (terdiri dari beberapa angkatan : yakni darat, laut atau mariner dan
serta udara).
Dalam
studi hubungan sipil-militer, para peneliti dan pengamat militer sering berbeda
pendapat mengenai siapa pihak militer itu. Amos Pelmutter membatasi konsep militer
hanya ditekankan kepada semua perwira
yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan politik, aspirasi dan orientasi yang bersifat politik tidak
memandang kapangkatan, apakah perwira tinggi, menengah atau pertama (dalam
Juliani, 2008). Kemudian Cohan (dalam Juliani, 2008) menyebutkan bahwa pihak
militer dapat berupa personal militer,
lembaga militer, atau hanya perwira senior.
Para
pengamat hubungan sipil-militer dalam negeri seperti Letjen TNI (Purn)
Sayidiman Suryahardiprojo (dalam
Juliani, 2008) mendefenisikan militer berkaitan dengan kekuatan bersenjata
yaitu TNI sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga
kedaulatan negara. Sedangkan Hardito (dalam Juliani, 2008) membatasi pihak
militer ditekankan pada perwira professional.
Dari
definisi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat dikatan bahwa pengertian
militer secara universal adalah
institusi yang bukan sipil yang mempunyai tugas dalam bidang pertahanan
dan keamanan, dalam hal ini militer merupakan suatu lembaga, bukan individu,
yang menduduki posisi dalam organisasi militer.
C. Sipil
Istilah
sipil dalam bahasa inggris ” civilian” yakni person
not sarving with armed forces (seorang
yang berkerja diluar profesi angkatan bersenjata). Cohan (dalam Juliani, 2008)
mendefenisikan pihak sipil dapat berupa masyarakat umum, lembaga pemerintah dan
swasta, para politisi dan negarawan. Suhartono (dalam Juliani, 2008) membatasi
pihak sipil sebagai masyarakat politik yang diwakili partai politik. Sayidiman Suryahardiprojo (dalam
Juliani, 2008) memberikan batasan pengertian sipil sebagai semua lapisan
masyarakat.
Dari
berbagai pengertian diatas maka dibuat
pengertian secara universal bahwa
istilah sipil adalah semua orang baik individu atau institusi yang berada
diluar organisasi militer. Dalam kajian pengertian sipil dibatasi pada masyarakat politik, dengan alasan bahwa
orientasi analisis dalam kajian ini
adalah praktek-praktek politik kedua
belah pihak dalam memperebutkan kontrol
efektif atas kekuasaan pemerintah. Masyarakat politik merupakan integrasi diantara masyarakat yang mempunyai tujuan untuk memeperoleh kekuasaan dalam
suatu negara.
D. Militer dalam Politik di Indonesia
Kerterlibatan
militer dalam politik merupakan gejala umum dinegara-negara dunia ketiga.
Dinegara dunia ketiga, militer dalam kadar yang berbeda-beda dan variasi yang
bermacam-macam, disamping melakukan fungsi pertahanan juga melakukan fungsi sosial
politik. Keterlibatan militer dalam fungsi sosial politik berkaitan dengan
kenyataan bahwa negara-negara dunia ketiga, umumnya baru mendapatkan
kemerdekaan atau dalam upaya membina diri sehingga belum memiliki sistem
politik yang stabil dan pemerintahan yang mantap. Disamping itu, pencapaian
kemerdekaan yang dilakukan dengan kekerasan senjata dalam melawan penjajah
melibatkan unsur militer didalamnya. Dengan demikian, akibat belum stabilnya
pemerintahan dan adanya andil militer dalam mencapai kemerdekaan, memungkinkan
militer untuk masuk dalam wilayah politik, yang sesungguhnya bukan wilayah
militer tetapi wilayah sipil.
Menurut
Muhaimin (dalam Sitepu, 2004) bahwa ada tiga alasan atau sebab militer secara
aktif masuk arena politik dan berkembangnya peran militer dalam politik dalam
kehidupan politik (sistem politik) yakni :
1. Rangkaian sebab
yang menyangkut adanya ketidakstabilan sistem politik. Keadaan tersebut terbukanya
kesempatan serta peluang yang cukup besar untuk menggunakan kekerasan dalam
sistem politik;
2. Rangkaian sebab
politik yang bertalian dengan kemampuan, golongan militer untuk mempengaruhi
atmosfir kehidupan politik dan bahkan untuk memperoleh peranan-peranan politik
yang menentukan;
3. Rangkaian sebab
yang berhubungan dengan polical
perspectives kelompok militer yang menonjol diatara perspektif mereka adalah yang
berkaitan dengan peranan dan status mereka dalam masyarakat dan juga berkenaan
dengan persepsi mereka terhadap kepemimpinan sipil serta sistem politik secara
keseluruhan.
Kemudian
menurut Crouch (dalam Sitepu, 2004) melihat bahwa keterlibatan militer dalam
politik disebabkan karena :
1. Militer
mempunyai kesempatan yang lebih luas karena organisasinya lebih kuat dari
organisasi-organisasi lain;
2. Dinegara-negara
baru umumnya tidak ada tradisi yang menghindari militer terlibat dalam politik.
Selanjutnya
menurut Sitepu (2004) peranan militer dalam politik di Indonesia, bermula dari
didirikannya Dewan Nasional tanggal 6 Mei 1957 oleh Presiden Soekarno, dan
peran partai-partai politik dilumpuhkan. Tujuan utama Dewan Nasional adalah
untuk membantu kabinet Gotong Royong dalam menjalankan program-programnya. Akan
tetapi dalam kenyataannya dimaksudkan untuk mengambil alih kekuasaan
partai-partai politik. Keanggotaan Dewan Nasional disebut golongan-golongan
fungsional yang dalam masyarakat nyatanya berasal dari pejabat-pejabat militer
yang diperlukan. Lebih jelasnya menurut Presiden Soekarno (dalam Sitepu, 2004) merupakan
cakupan terhadap person-person dari
golongan berikut : buruh, petani, intelegensia, seniman, kaum wanita,
orang-orang Kristen, Muslim, pengusaha nasional, personal Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Dengan masuknya militer dalam Dewan Nasional
telah melegitimasi secara formal militer masuk dalam wilayah politik.
Pada
masa orde baru konsep jalan tengah yaitu sebagai kekuatan sosial dan juga
sebagai kekuatan pertahanan dan kemanan yang dikemukan oleh AH. Nasution
mendapat pengesahan secara de jure. Berdasarkan
hasil seminar Angkatan Darat II tahun 1966 diperkenalkan istilah dwi fungsi
ABRI. Dalam konsep ini, militer bukan hanya berperan dalam masalah-masalah
pertahanan dan keamanan tetapi juga harus terlibat dalam dunia politik. Militer
secara sah harus mengemban dua fungsi tersebut, kemudian mulailah merambah peran
militer dalam dunia politik (Romli, 2001).
Sehubungan
dengan itu, jauh sebelum orde baru jatuh ada kritik-kritik agar militer
mengurangi peranannya dalam bidang politik dan sedikit demi sedikit mempelopori
agenda demokratisasi. Militer agar memberikan keleluasaan partisipasi politik
pada masyarakat dan melakukan reaktualisasi terhadap dwi fungsi ABRI. Namun
segala kritik itu kurang ditanggapi, bahkan lebih jauh dianggap merong-rong
kewibawaan ABRI. Akibat bagi mereka yang melakukan kritik terhadap pelaksanaan
dwi fungsi ABRI mendapat ganjaran berupa penjara atau cekal. Inilah yang
dialami oleh kelompok-kelompok gerakan pro-demokrasi.
Dewasa
ini, ketika arus reformasi tidak bias dibendung, maka tuntutan pembatasan dwi
fungsi ABRI tidak bisa dihambat lagi, menghadapi tuntutan tersebut maka sikap
ABRI menurut Romli (2001) tercermin dalam Buku Putih yang dikeluarkan oleh ABRI
tanggal 5 Oktober 1998. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa ABRI akan
mendasarkan pada paradigma baru, yaitu : (1) ABRI berusaha mengubah posisi dan
metode tidak selalu harus di depan; (2) ABRI mengubah konsep dari menduduki
menjadi mempengaruhi; (3) ABRI ingin mengubah cara-cara mempengaruhi secara
langsung menjadi tidak langsung; dan (4) ABRI bersedia untuk melakukan political and role sharing.
E. Simpulan
Di Indonesia campur tangan militer
kedalam wilayah politik terjadi sudah sekian lama dan pada kenyataannya memang
menyebabkan proses demokratisasi menjadi terhambat bahkan mati. Karenanya, dewasa ini salah
satu upaya yang ditempuh untuk membangun demokrasi adalah dengan menjauhkan kekuatan
militer dari urusan-urusan politik, dengan mengembalikannya ke barak, dan
menjadikannya sebagai alat yang profesional.
REFERENSI :
Juliani,
E. 2008. Skripsi : Militer dan Politik (Studi Tentang Kelompok Pendukung dan
Penentang Terhadap Penghapusan Dwi Fungsi ABRI Tahun 1998-2001. USU. Medan
Sitepu,
P.A. Jurnal Pemberdayaan Komunitas,. Edisi September 2004, Volume 3, Nomor 3.
Romli,
L. 2001. Makalah : Militer Pasca Orde Baru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar