Minggu, 01 Januari 2012

Sekilas Militer dalam Politik

SEKILAS MILITER DALAM POLITIK



A.   Pembuka

Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, hubungan sipil-militer yang harmonis merupakan hal yang sangat penting bagi suatu bangsa karena berpengaruh terhadap ketahanan nasionalnya, bahkan menjadi prasyarat utama yang menentukan maju mundurnya suatu negara. Militer memerlukan dukungan pemerintah dalam hal alokasi anggaran yang  dibutuhkan untuk membangun kekuatan angkatan perang dalam rangka mengatasi ancaman yang akan timbul (Santoso dalam Juliani, 2008). Begitu juga sipil membutuhkan militer  sebagai perlindungan terhadap keamanan.
Dalam konteks Indonesia, sejak proklamasi kemerdekaan, konstelasi politik dan maraknya peraturan politik tidak terlepas dari  pengaruh keterlibatan kelompok militer memang serangkaian proses menunjukkan kadar keterlibatan mereka dan peranannya sebagai kekuatan politik. Kemudian pada masa orde baru membangun opini masyarakat tentang sejarah ABRI, seakan-akan ABRI pada masa lalu sudah ikut menentukan nasib negara secara politik. Dari sinilah kemudian dibangun sistem pemerintahan yang militeristik dengan mengikutsetakan ABRI dalam politik penyelenggaraan negara.

B.  Militer
Militer dalam bahasa inggris military” adalah the soldiers, the army, the armend forces (Hornby dalam Juliani, 2008) yang dalam bahasa Indonesia diartikan prajurit  atau tentara : angkatan bersenjata (terdiri dari beberapa angkatan : yakni darat, laut atau mariner dan serta udara).
Dalam studi hubungan sipil-militer, para peneliti dan pengamat militer sering berbeda pendapat mengenai siapa pihak militer itu. Amos Pelmutter membatasi konsep militer hanya ditekankan kepada semua  perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan politik, aspirasi dan  orientasi yang bersifat politik tidak memandang kapangkatan, apakah perwira tinggi, menengah atau pertama (dalam Juliani, 2008). Kemudian Cohan (dalam Juliani, 2008) menyebutkan bahwa pihak militer dapat  berupa personal militer, lembaga militer, atau hanya perwira senior.
Para pengamat hubungan sipil-militer dalam negeri seperti Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryahardiprojo (dalam Juliani, 2008) mendefenisikan militer berkaitan dengan kekuatan bersenjata yaitu TNI sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara. Sedangkan Hardito (dalam Juliani, 2008) membatasi pihak militer ditekankan pada perwira professional.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat dikatan bahwa pengertian militer secara universal adalah  institusi yang bukan sipil yang mempunyai tugas dalam bidang pertahanan dan keamanan, dalam hal ini militer merupakan suatu lembaga, bukan individu, yang menduduki posisi dalam organisasi militer.

C.  Sipil
Istilah sipil dalam bahasa inggris ” civilian”  yakni person not sarving with armed forces (seorang yang berkerja diluar profesi angkatan bersenjata). Cohan (dalam Juliani, 2008) mendefenisikan pihak sipil dapat berupa masyarakat umum, lembaga pemerintah dan swasta, para politisi dan negarawan. Suhartono (dalam Juliani, 2008) membatasi pihak sipil sebagai masyarakat politik yang diwakili  partai politik. Sayidiman Suryahardiprojo (dalam Juliani, 2008) memberikan batasan pengertian sipil sebagai semua lapisan masyarakat.
Dari berbagai pengertian diatas  maka dibuat pengertian secara universal  bahwa istilah sipil adalah semua orang baik individu atau institusi  yang berada  diluar organisasi militer. Dalam kajian pengertian sipil dibatasi  pada masyarakat politik, dengan alasan bahwa orientasi analisis  dalam kajian ini adalah praktek-praktek politik  kedua belah pihak dalam memperebutkan  kontrol efektif atas kekuasaan pemerintah. Masyarakat politik merupakan integrasi  diantara masyarakat yang mempunyai  tujuan untuk memeperoleh kekuasaan dalam suatu negara.

D.  Militer dalam Politik di Indonesia
Kerterlibatan militer dalam politik merupakan gejala umum dinegara-negara dunia ketiga. Dinegara dunia ketiga, militer dalam kadar yang berbeda-beda dan variasi yang bermacam-macam, disamping melakukan fungsi pertahanan juga melakukan fungsi sosial politik. Keterlibatan militer dalam fungsi sosial politik berkaitan dengan kenyataan bahwa negara-negara dunia ketiga, umumnya baru mendapatkan kemerdekaan atau dalam upaya membina diri sehingga belum memiliki sistem politik yang stabil dan pemerintahan yang mantap. Disamping itu, pencapaian kemerdekaan yang dilakukan dengan kekerasan senjata dalam melawan penjajah melibatkan unsur militer didalamnya. Dengan demikian, akibat belum stabilnya pemerintahan dan adanya andil militer dalam mencapai kemerdekaan, memungkinkan militer untuk masuk dalam wilayah politik, yang sesungguhnya bukan wilayah militer tetapi wilayah sipil.
Menurut Muhaimin (dalam Sitepu, 2004) bahwa ada tiga alasan atau sebab militer secara aktif masuk arena politik dan berkembangnya peran militer dalam politik dalam kehidupan politik (sistem politik) yakni :
1.  Rangkaian sebab yang menyangkut adanya ketidakstabilan  sistem politik. Keadaan tersebut terbukanya kesempatan serta peluang yang cukup besar untuk menggunakan kekerasan dalam sistem politik;
2.   Rangkaian sebab politik yang bertalian dengan kemampuan, golongan militer untuk mempengaruhi atmosfir kehidupan politik dan bahkan untuk memperoleh peranan-peranan politik yang menentukan;
3.  Rangkaian sebab yang berhubungan dengan polical perspectives kelompok militer yang menonjol  diatara perspektif mereka adalah yang berkaitan dengan peranan dan status mereka dalam masyarakat dan juga berkenaan dengan persepsi mereka terhadap kepemimpinan sipil serta sistem politik secara keseluruhan.

 Kemudian menurut Crouch (dalam Sitepu, 2004) melihat bahwa keterlibatan militer dalam politik disebabkan karena :
1.     Militer mempunyai kesempatan yang lebih luas karena organisasinya lebih kuat dari organisasi-organisasi lain;
2.  Dinegara-negara baru umumnya tidak ada tradisi yang menghindari militer terlibat dalam politik.
Selanjutnya menurut Sitepu (2004) peranan militer dalam politik di Indonesia, bermula dari didirikannya Dewan Nasional tanggal 6 Mei 1957 oleh Presiden Soekarno, dan peran partai-partai politik dilumpuhkan. Tujuan utama Dewan Nasional adalah untuk membantu kabinet Gotong Royong dalam menjalankan program-programnya. Akan tetapi dalam kenyataannya dimaksudkan untuk mengambil alih kekuasaan partai-partai politik. Keanggotaan Dewan Nasional disebut golongan-golongan fungsional yang dalam masyarakat nyatanya berasal dari pejabat-pejabat militer yang diperlukan. Lebih jelasnya menurut Presiden Soekarno (dalam Sitepu, 2004) merupakan cakupan terhadap person-person dari golongan berikut : buruh, petani, intelegensia, seniman, kaum wanita, orang-orang Kristen, Muslim, pengusaha nasional, personal Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Dengan masuknya militer dalam Dewan Nasional telah melegitimasi secara formal militer masuk dalam wilayah politik.
Pada masa orde baru konsep jalan tengah yaitu sebagai kekuatan sosial dan juga sebagai kekuatan pertahanan dan kemanan yang dikemukan oleh AH. Nasution mendapat pengesahan secara de jure. Berdasarkan hasil seminar Angkatan Darat II tahun 1966 diperkenalkan istilah dwi fungsi ABRI. Dalam konsep ini, militer bukan hanya berperan dalam masalah-masalah pertahanan dan keamanan tetapi juga harus terlibat dalam dunia politik. Militer secara sah harus mengemban dua fungsi tersebut, kemudian mulailah merambah peran militer dalam dunia politik (Romli, 2001).
Sehubungan dengan itu, jauh sebelum orde baru jatuh ada kritik-kritik agar militer mengurangi peranannya dalam bidang politik dan sedikit demi sedikit mempelopori agenda demokratisasi. Militer agar memberikan keleluasaan partisipasi politik pada masyarakat dan melakukan reaktualisasi terhadap dwi fungsi ABRI. Namun segala kritik itu kurang ditanggapi, bahkan lebih jauh dianggap merong-rong kewibawaan ABRI. Akibat bagi mereka yang melakukan kritik terhadap pelaksanaan dwi fungsi ABRI mendapat ganjaran berupa penjara atau cekal. Inilah yang dialami oleh kelompok-kelompok gerakan pro-demokrasi.
Dewasa ini, ketika arus reformasi tidak bias dibendung, maka tuntutan pembatasan dwi fungsi ABRI tidak bisa dihambat lagi, menghadapi tuntutan tersebut maka sikap ABRI menurut Romli (2001) tercermin dalam Buku Putih yang dikeluarkan oleh ABRI tanggal 5 Oktober 1998. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa ABRI akan mendasarkan pada paradigma baru, yaitu : (1) ABRI berusaha mengubah posisi dan metode tidak selalu harus di depan; (2) ABRI mengubah konsep dari menduduki menjadi mempengaruhi; (3) ABRI ingin mengubah cara-cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung; dan (4) ABRI bersedia untuk melakukan political and role sharing.

E. Simpulan
Di Indonesia campur tangan militer kedalam wilayah politik terjadi sudah sekian lama dan pada kenyataannya memang menyebabkan proses demokratisasi menjadi terhambat bahkan mati. Karenanya, dewasa ini salah satu upaya yang ditempuh untuk membangun demokrasi adalah dengan menjauhkan kekuatan militer dari urusan-urusan politik, dengan mengembalikannya ke barak, dan menjadikannya sebagai alat yang profesional.

 
REFERENSI :
  

Juliani, E. 2008. Skripsi : Militer dan Politik (Studi Tentang Kelompok Pendukung dan Penentang Terhadap Penghapusan Dwi Fungsi ABRI Tahun 1998-2001. USU. Medan

Sitepu, P.A. Jurnal Pemberdayaan Komunitas,. Edisi September 2004, Volume 3, Nomor 3.

Romli, L. 2001. Makalah : Militer Pasca Orde Baru

Tidak ada komentar: