Minggu, 01 Januari 2012

Kekuasaan Presiden RI Sebelum Amandemen UUD 1945

KEKUASAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945


A.  PEMBUKA
Bagaimanakah kekuasaan Presiden Republik Indonesia sebelum UUD 1945 di amandemen?. Sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa ini, kita sangat perlu untuk mengetahuinya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah konstitusi negara Republik Indonesia saat ini. Pada tanggal 22 Juni 1945, disahkan Piagam Jakarta yang menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 setelah dihilangkannya anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa sidang kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). UUD 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1945, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959 (http://www.elvinmiradi.com/penyimpangan-konstitusi-dan-akibatnya/index.html).
Oleh karena itu, sejarah mencatat setidaknya ada tiga atau bahkan empat Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia seperti diuraikan diatas, dan yang terakhir Undang-Undang Dasar setelah perubahan pertama sampai keempat. Begitu pula dengan lembaga kepresidenan Indonesia, oleh karena kekuasaan Presiden Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar maka setiap Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku selalu mewarnai sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia. 

B.  TINJAUAN TEORI
1.   Kekuasaan
Keberadaan suatu kekuasaan dalam suatu negara tidak bisa dinafikan, melalui kekuasaan, seseorang bisa mempengaruhi orang lain untuk mencapai kepentingan bersama. Hal ini dapat dilihat dari perumusan yang umumnya dikenal (dalam Budiardjo, 2009:60) yakni kekuasaan adalah kemampuan seseorang pelaku untuk mempengaruhi perilaku seorang pelaku lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Dalam perumusan ini pelaku bisa berupa seorang, sekelompok orang, atau suatu kolektivitas.
Senada dengan pemikiran diatas juga diungkapkan oleh Laswell dan Kaplan (dalam Budiardjo, 2009:60) yaitu kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok orang lain ke arah tujuan dari pihak pertama.

2.   Trias Politika
Berkaitan dengan konsep kekuasaan diatas, dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter. Oleh karena untuk menghindari hal tersebut maka harus ada pemisahan kekuasaan negara. Sebagaimana konsep trias politika yang dikemukakan oleh Montesquieu (dalam Syafiie, 2002:126) yakni kekuasaan legislatif yaitu pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif (presiden) yaitu pelaksana undang-undang, kekuasaan yudikatif yaitu yang mengadili (badan peradilan).
Namun demikian, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia mengenai konsep trias politika diatas, maka menurut Budiardjo (2009:287) bahwa ketiga undang-undang dasar di Indonesia tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politika dianut, tetapi karena ketiga undang-undang dasar menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia mengatur trias politika dalam arti pembagian kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan.

3.  Presiden
Sebagai bentuk dari konsep trias politika dalam arti pembagian kekuasaan sebagaimana diuraikan diatas, dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 maka kekuasaan eksekutif (pemerintahan negara Indonesia) dilaksanakan oleh presiden. Menurut tata bahasanya, kata presiden merupakan kata turunan dari to preside yang artinya memimpin atau tampil didepan. Sedangkan dari kata Latin yaitu presidere berasal dari kata prae yang artinya di depan, dan kata sedere yang artinya duduk (Alrasid, 1999:10).
Jabatan presiden merupakan jabatan tunggal, yaitu diisi oleh satu orang pemangku jabatan. Pemangku jabatan presiden juga disebut presiden. Jabatan presiden Indonesia sebelum perubahan UUD 1945, menurut Alrasid (1999:12) bahwa presiden bukan merupakan jabatan tertinggi, karena dia berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga jabatan majemuk yang melakukan kedaulatan rakyat dan merupakan Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes (badan perwakilan yang menyuarakan kemauan rakyat). Kepada badan negara tertinggi MPR ini presiden wajib memberikan pertanggungjawaban. (Hal ini berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen).

4.   Undang-Undang Dasar (Konstitusi)
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kekuasaan presiden diatur dalam Undang-Undang Dasar yaitu UUD 1945. Menurut Budiardjo (2009:169) Undang-Undang Dasar merupakan suatu perangkat peraturan yang menentukan kekuasaan dan tanggung jawab dari berbagai alat kenegaraan. Undang-Undang Dasar juga menentukan batas-batas berbagai pusat kekuasaan itu dan memaparkan hubungan-hubungan di antara mereka.
Selain itu, pendapat mengenai istilah Undang-Undang Dasar dan konstitusi menurut Chaidir dan Fahmi (2010:23) terbagi dua, yaitu pertama pendapat yang membedakan konstitusi dan Undang-Undang Dasar. Kedua, pendapat yang menyamakan konstitusi dengan Undang-Undang Dasar. Pada saat ini nampaknya pendapat kedua lebih diterima.
Dengan demikian, pengertian konstitusi menurut Barendt (dalam Chaidir dan Fahmi, 2010:24) yakni konstitusi negara adalah dokumen tertulis atau teks yang mana secara garis besar mengatur kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif serta lembaga negara lainnya.
Adapun materi muatan Undang-Undang Dasar menurut Soemantri (dalam Chaidir dan Fahmi, 2010:29) dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni :
1.  Adanya pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan warga negara;
2.  Adanya pengaturan tentang susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar, dan;
3.  Adanya pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
Mengenai Undang-Undang Dasar Indonesia, dari sejarah ketatanegaraan Indonesia dapat diketahui bahwa Undang-Undang Dasar yang berlaku telah beberapa kali berganti, yaitu dari UUD 1945, kemudian diganti UUD RIS 1949, lalu berganti lagi dengan UUDS 1950, dan akhirnya kembali ke UUD 1945, serta Undang-Undang Dasar yang kini berlaku juga telah mengalami empat kali perubahan.

C.  BAHASAN
1.   UUD 1945
Untuk menyelamatkan negara dari kemelut perpecahan nasional, maka pada tanggal 5 Juli 1959 atas nama rakyat Indonesia, Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno menyatakan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Hal ini karena kegagalan Konstituante membuat Undang-Undang Dasar baru yang disebabkan oleh perbedaan pendirian politik yang mendasar. Ada beberapa hal penting yang menjadi isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (dalam Indra, 1989:2) yaitu :
1.  Pembubaran Konstituante;
2.  Menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan menyatakan tidak berlakunya lagi UUDS 1950;
3.  Pembentukan MPR Sementara yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
 Dengan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia maka sudah dua kali UUD 1945 digunakan sebagai landasan konstitusional untuk mengatur mekanisme kenegaraan Indonesia. UUD 1945 adalah Undang-Undang Dasar yang bersifat singkat dan supel. Menurut penjelasan UUD 1945, ia singkat karena Undang-Undang Dasar itu hanya mengatur hal-hal pokok. Supel karena mudah mengikuti perkembangan zaman dan mudah menyesuaikan diri dengan kebutuhan ketatanegaraan pada saat yang diperlukan.
UUD 1945 juga singkat karena hanya terdiri dari 37 pasal. UUD 1945 yang terdiri dari Mukaddimah, Batang Tubuh, dan Penjelasan, merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Baik Mukaddimah, Batang Tubuh, maupun Penjelasannya menjadi pegangan pokok dalam menyelenggarakan pemerintahan negara Republik Indonesia. Dalam ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Negara Republik Indonesia ditetapkan urutan dan tertib hukum yang ada di Indonesia, (dalam Indra, 1989:3) yaitu :
1. UUD RI 1945
2.  Ketetapan MPR
3.  Undang-Undang / Perpu
4.  Peraturan Pemerintah
5.  Keputusan Presiden
6.  Peraturan Pelaksana Lainnya :
     -  Peraturan Menteri
     -  Instruksi Menteri
     -  dan lain-lainnya

Tata urutan peraturan perundangan tersebut sudah mengalami perubahan yakni pertama melalui TAP MPR Nomor III/MPR/2000, dan terkahir melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebagai perbandingan dengan tata urutan peraturan perundang-undangan sebelumnya maka menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, tata urutan peraturan perundang-undang yang berlaku sekarang, (dalam Chaidir dan Fahmi, 2010:107) sebagai berikut :
1.  UUD 1945
2.  Undang-Undang / Perpu
3.  Peraturan Pemerintah
4.  Peraturan Presiden
5.  Peraturan daerah

 2.   Kekuasaan Presiden RI Sebelum Perubahan UUD 1945
Sebagaimana diuraikan diatas, bahwa dengan berlakunya UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pelaksanaan pemerintahan negara berpijak pada UUD 1945 sebagai landasan konstitusional negara. Menurut Indra (1989:22) kekuasaan Presiden Republik Indonesia dalam UUD 1945 (sebelum perubahan) dapat dibagi dalam empat hal, antara lain kekuasaan Presiden dalam bidang eksekutif, kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif, kekuasaan Presiden dalam bidang yudikatif, dan kekuasaan Presiden sebagai kepala negara.

a.   Kekuasaan Presiden dalam bidang eksekutif
Terlihat dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, kekuasaan presiden dalam bidang eksekutif yaitu pasal 4 ayat (1) dan pasal 5 ayat (2).
Pasal 4 ayat (1) berbunyi :
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Pasal 5 ayat (2) berbunyi :
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Dalam bidang pemerintahan, presiden memegang kekuasaan eksekutif tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (pasal 4 ayat 1 dan penjelasan UUD 1945 tentang sistim pemerintahan negara angka IV). Serta dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah berada di tangan presiden.
Walaupun presiden berada dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, menurut Indra (1989:10) bahwa presiden tetap mempunyai kekuasaan yang sangat besar karena pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan berdasarkan undang-undang, di mana presiden turut serta dalam pembentukan undang-undang tersebut. Begitu juga pemerintah turut serta menyeleksi siapa-siapa saja yang dapat diangkat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Mengenai pembentukan peraturan pemerintah (pasal 5 ayat 2) juga menurut Indra (1989:6) bahwa kekuasaan presiden masih besar yakni jika presiden setelah mengesahkan undang-undang, kemudian merasa dan atau melihat undang-undang itu akan mengurangi dan atau mengganggu kekuasaannya, maka presiden tidak akan mengeluarkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang tersebut. Tanpa peraturan pemerintah suatu undang-undang tidak akan bisa dilaksanakan.

b.   Kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif
Terlihat dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, dimana Presiden merupakan partner bagi DPR, artinya Presiden bekerja sama dengan DPR dalam tugas legislatif yang diantaranya adalah membentuk undang-undang (pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 21, dan pasal 22), dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (pasal 23).
Pasal 5 ayat (1) berbunyi :
Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengang persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 20 ayat (1) berbunyi :
Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 21 berbunyi :
(1)     Anggota-Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan rancangan Undang-Undang.
(2)     Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
 Pasal 22 berbunyi :
(1)   Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang.
(2)   Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3)   Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Pasal 23 berbunyi :
(1)   Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.
(2)  Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.
(3)  Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
(4)  Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang.
(5)  Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam hal ini, presiden mempunyai kekuasaan yang lebih besar daripada Dewan Perwakilan Rakyat karena menurut Indra (1989:11) paling sedikit ada dua alasan, pertama karena presiden adalah pemimpin tertinggi (eksekutif), sedangkan eksekutif biasanya lebih menguasai permasalahan kenegaraan. Sebagai contoh, sebagian besar undang-undang yang ada adalah inisiatif pemerintah dan sangat minim sekali undang-undang yang ada berasal dari inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua, walaupun undang-undang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden, tetapi tidak disahkan presiden, maka undang-undang itu tidak dapat berlaku dan dijalankan.   Dengan demikian kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sangat lemah dibanding dengan presiden, dimana Dewan Perwakilan Rakyat dengan alasan apapun dan atau dalam keadaan bagaiamanapun tidak mempunyai kekuasaan untuk membentuk undang-undang sendiri tanpa persetujuan presiden.

c.   Kekuasaan Presiden dalam bidang yudikatif
Terlihat dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, kekuasaan presiden dalam bidang yudikatif yaitu pasal 14.
Pasal 14 berbunyi :
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.
Dari pasal 14 UUD 1945 ini terlihat kekuasaan presiden yang besar yang disamping mempunyai kekuasaan eksekutif dan legislatif, juga mempunyai kekuasaan untuk mencampuri kekuasaan kehakiman yang sebenarnya menurut pasal 24 dan 25 UUD 1945 serta penjelasannya adalah harus bebas, merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan negara lainnya yaitu kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Tapi dengan adanya pasal 14 UUD 1945 ini, maka kekuasaan kehakiman itu sebenarnya tidaklah bebas seratus persen. Disini tampak bahwa presiden mempunyai hak menguji terhadap keputusan-keputusan Mahkamah Agung yang menyebabkan presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam bidang yudikatif.
Paham konstitusi modern menurut Indra (1989:16) bahwa kekuasaan kehakiman harus dibebaskan dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan lainnya di dalam negara demi menegakkan hukum untuk mencapai keadilan dan kebenaran, sehingga wewenang presiden dalam memberi grasi pada hakikatnya merupakan campur tangan eksekutif dalam bidang yustisial.
Dari sejarahnya, grasi dahulu sebenarnya diberikan untuk kepentingan terhukum oleh raja pada waktu ia masih berdaulat penuh berdasarkan pertimbangan kemanusiaan. Dengan alasan itu maka sekalipun konstitusi modern menghendaki adanya pemisahan kekuasaan yudikatif dengan kekuasaan-kekuasaan negara lainnya (eksekutif dan legislatif) namun wewenang ini hingga kini masih dipertahankan terus seperti juga di Inggris.

d.   Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara
Terlihat dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, kekuasaan presiden sebagai kepala negara yaitu pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan pasal 15.
Pasal 10 berbunyi :
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Pasal 11 berbunyi :
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Pasal 12 berbunyi :
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 13 berbunyi :
(1)  Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2)  Presiden menerima duta negara lain.
Pasal 15 berbunyi :
Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan.
Kekuasaan presiden berdasarkan pasal 10, 11, 12, 13, dan 15 UUD 1945 diberikan oleh Undang-Undang Dasar kepada Presiden karena sebagai kepala negara, presiden merupakan lambang kesatuan dan persatuan bangsa. Presiden bertanggung jawab atas pasang surut yang dialami rakyat, bangsa dan negara untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian dalam rangka mencapai masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

D.   AKHIR KATA
Demikian untuk bahasan masa ini, semoga manfaat. Untuk kekuasaan Presiden setelah UUD 1945 diamandemen, sila ncik-ncik bahas.


REFERENSI :
 

Alrasid, Harun. 1999. Pengisian Jabatan Presiden. PT Utama Pustaka Grafiti, Jakarta.

Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Chaidir, Ellydar dan Sudi Fahmi. S. 2010. Hukum Perbandingan Konstitusi. Total Media, Yogyakarta.

Indra, Haji Muhammad Ridhwan. 1989. Kedudukan Presiden dalam UUD 1945. CV Haji Masagung, Jakarta.

Syafiie, Inu Kencana. 2002. Sistem Pemerintahan Indonesia (Edisi Revisi). Rineka Cipta, Jakarta.

UUD ’45 dan Amandemennya. Penerbit Fokusmedia.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

[url=http://commentjob.ru/#hsbxd]link here[/url] - cool site , http://commentjob.ru/#uriws nice page