KEKUASAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945
A. PEMBUKA
Bagaimanakah kekuasaan Presiden Republik Indonesia sebelum UUD 1945 di amandemen?. Sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa ini, kita sangat perlu untuk mengetahuinya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945) adalah konstitusi negara Republik Indonesia saat ini. Pada tanggal
22 Juni 1945, disahkan Piagam Jakarta yang menjadi naskah Pembukaan UUD 1945
setelah dihilangkannya anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariah Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa
sidang kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). UUD 1945
disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia oleh PPKI pada tanggal
18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1945, di Indonesia berlaku
Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS
1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan
dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959 (http://www.elvinmiradi.com/penyimpangan-konstitusi-dan-akibatnya/index.html).
Oleh karena itu, sejarah mencatat setidaknya ada tiga
atau bahkan empat Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia seperti
diuraikan diatas, dan yang terakhir Undang-Undang Dasar setelah perubahan
pertama sampai keempat. Begitu pula dengan lembaga kepresidenan Indonesia, oleh
karena kekuasaan Presiden Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar
maka setiap Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku selalu mewarnai sejarah
perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia.
B. TINJAUAN TEORI
1. Kekuasaan
Keberadaan suatu
kekuasaan dalam suatu negara tidak bisa dinafikan, melalui kekuasaan, seseorang
bisa mempengaruhi orang lain untuk mencapai kepentingan bersama. Hal ini dapat
dilihat dari perumusan yang umumnya dikenal (dalam Budiardjo, 2009:60) yakni kekuasaan
adalah kemampuan seseorang pelaku untuk mempengaruhi perilaku seorang pelaku
lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang
mempunyai kekuasaan. Dalam perumusan ini pelaku bisa berupa seorang, sekelompok
orang, atau suatu kolektivitas.
Senada dengan
pemikiran diatas juga diungkapkan oleh Laswell dan Kaplan (dalam Budiardjo,
2009:60) yaitu kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau
sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok orang lain
ke arah tujuan dari pihak pertama.
2. Trias Politika
Berkaitan
dengan konsep kekuasaan diatas, dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan
pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang
dilakukan secara absolut atau otoriter. Oleh karena untuk menghindari hal
tersebut maka harus ada pemisahan
kekuasaan negara. Sebagaimana
konsep trias politika yang dikemukakan oleh Montesquieu (dalam Syafiie, 2002:126) yakni kekuasaan legislatif
yaitu pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif (presiden) yaitu pelaksana
undang-undang, kekuasaan yudikatif yaitu yang mengadili (badan peradilan).
Namun demikian, dalam konteks
Negara Kesatuan Republik Indonesia mengenai konsep trias politika diatas, maka
menurut Budiardjo (2009:287) bahwa ketiga undang-undang dasar di Indonesia
tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politika dianut, tetapi
karena ketiga undang-undang dasar menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional,
maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia mengatur trias politika dalam arti
pembagian kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan.
3. Presiden
Sebagai bentuk dari konsep trias
politika dalam arti pembagian kekuasaan sebagaimana diuraikan diatas, dan
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 maka kekuasaan eksekutif (pemerintahan
negara Indonesia) dilaksanakan oleh presiden. Menurut tata bahasanya, kata
presiden merupakan kata turunan dari to
preside yang artinya memimpin atau tampil didepan. Sedangkan dari kata
Latin yaitu presidere berasal dari
kata prae yang artinya di depan, dan
kata sedere yang artinya duduk
(Alrasid, 1999:10).
Jabatan presiden merupakan
jabatan tunggal, yaitu diisi oleh satu orang pemangku jabatan. Pemangku jabatan
presiden juga disebut presiden. Jabatan presiden Indonesia sebelum perubahan
UUD 1945, menurut Alrasid (1999:12) bahwa presiden bukan merupakan jabatan
tertinggi, karena dia berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
sehingga jabatan majemuk yang melakukan kedaulatan rakyat dan merupakan Vertretungsorgan des Willens des
Staatsvolkes (badan perwakilan yang menyuarakan kemauan rakyat). Kepada badan
negara tertinggi MPR ini presiden wajib memberikan pertanggungjawaban. (Hal ini berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen).
4. Undang-Undang Dasar (Konstitusi)
Dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, kekuasaan presiden diatur dalam Undang-Undang Dasar
yaitu UUD 1945. Menurut Budiardjo (2009:169) Undang-Undang Dasar merupakan
suatu perangkat peraturan yang menentukan kekuasaan dan tanggung jawab dari
berbagai alat kenegaraan. Undang-Undang Dasar juga menentukan batas-batas berbagai
pusat kekuasaan itu dan memaparkan hubungan-hubungan di antara mereka.
Selain itu, pendapat mengenai istilah Undang-Undang
Dasar dan konstitusi menurut Chaidir dan Fahmi (2010:23) terbagi dua, yaitu
pertama pendapat yang membedakan konstitusi dan Undang-Undang Dasar. Kedua,
pendapat yang menyamakan konstitusi dengan Undang-Undang Dasar. Pada saat ini
nampaknya pendapat kedua lebih diterima.
Dengan demikian, pengertian konstitusi menurut Barendt
(dalam Chaidir dan Fahmi, 2010:24) yakni konstitusi negara adalah dokumen
tertulis atau teks yang mana secara garis besar mengatur kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif serta lembaga negara lainnya.
Adapun materi
muatan Undang-Undang Dasar menurut Soemantri (dalam Chaidir dan Fahmi,
2010:29) dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni :
1. Adanya
pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan warga negara;
2. Adanya
pengaturan tentang susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar, dan;
3. Adanya
pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
Mengenai
Undang-Undang Dasar Indonesia, dari sejarah ketatanegaraan Indonesia dapat
diketahui bahwa Undang-Undang Dasar yang berlaku telah beberapa kali berganti,
yaitu dari UUD 1945, kemudian diganti UUD RIS 1949, lalu berganti lagi dengan UUDS
1950, dan akhirnya kembali ke UUD 1945, serta Undang-Undang Dasar yang kini
berlaku juga telah mengalami empat kali perubahan.
C. BAHASAN
1. UUD 1945
Untuk
menyelamatkan negara dari kemelut perpecahan nasional, maka pada tanggal 5 Juli
1959 atas nama rakyat Indonesia, Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno menyatakan Dekrit
Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Hal ini karena kegagalan Konstituante
membuat Undang-Undang Dasar baru yang disebabkan oleh perbedaan pendirian
politik yang mendasar. Ada beberapa hal penting yang menjadi isi Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 (dalam Indra, 1989:2) yaitu :
1. Pembubaran Konstituante;
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan menyatakan tidak
berlakunya lagi UUDS 1950;
3. Pembentukan MPR Sementara yang terdiri dari anggota-anggota DPR
ditambah utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta
pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
Dengan
berlakunya kembali UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia maka sudah dua kali UUD 1945 digunakan sebagai landasan
konstitusional untuk mengatur mekanisme kenegaraan Indonesia. UUD 1945 adalah
Undang-Undang Dasar yang bersifat singkat dan supel. Menurut penjelasan UUD
1945, ia singkat karena Undang-Undang Dasar itu hanya mengatur hal-hal pokok.
Supel karena mudah mengikuti perkembangan zaman dan mudah menyesuaikan diri
dengan kebutuhan ketatanegaraan pada saat yang diperlukan.
UUD 1945 juga
singkat karena hanya terdiri dari 37 pasal. UUD 1945 yang terdiri dari
Mukaddimah, Batang Tubuh, dan Penjelasan, merupakan satu kesatuan yang
terintegrasi. Baik Mukaddimah, Batang Tubuh, maupun Penjelasannya menjadi
pegangan pokok dalam menyelenggarakan pemerintahan negara Republik Indonesia.
Dalam ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai
sumber tertib hukum Negara Republik Indonesia ditetapkan urutan dan tertib
hukum yang ada di Indonesia, (dalam Indra, 1989:3) yaitu :
1. UUD RI
1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang / Perpu
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan Pelaksana Lainnya :
- Peraturan
Menteri
- Instruksi
Menteri
- dan
lain-lainnya
Tata urutan
peraturan perundangan tersebut sudah mengalami perubahan yakni pertama melalui
TAP MPR Nomor III/MPR/2000, dan terkahir melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebagai perbandingan dengan
tata urutan peraturan perundang-undangan sebelumnya maka menurut Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004, tata urutan peraturan perundang-undang yang berlaku
sekarang, (dalam Chaidir dan Fahmi, 2010:107) sebagai berikut :
1. UUD 1945
2. Undang-Undang / Perpu
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan daerah
2. Kekuasaan Presiden RI Sebelum Perubahan UUD
1945
Sebagaimana
diuraikan diatas, bahwa dengan berlakunya UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pelaksanaan pemerintahan negara
berpijak pada UUD 1945 sebagai landasan konstitusional negara. Menurut Indra
(1989:22) kekuasaan Presiden Republik Indonesia dalam UUD 1945 (sebelum
perubahan) dapat dibagi dalam empat hal, antara lain kekuasaan Presiden dalam
bidang eksekutif, kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif, kekuasaan
Presiden dalam bidang yudikatif, dan kekuasaan Presiden sebagai kepala negara.
a. Kekuasaan Presiden dalam bidang eksekutif
Terlihat dari
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, kekuasaan presiden dalam
bidang eksekutif yaitu pasal 4 ayat (1) dan pasal 5 ayat (2).
Pasal 4 ayat (1)
berbunyi :
Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Pasal 5 ayat (2)
berbunyi :
Presiden menetapkan peraturan pemerintah
untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Dalam bidang
pemerintahan, presiden memegang kekuasaan eksekutif tertinggi di bawah Majelis
Permusyawaratan Rakyat (pasal 4 ayat 1 dan penjelasan UUD 1945 tentang sistim
pemerintahan negara angka IV). Serta dalam menjalankan pemerintahan negara,
kekuasaan dan tanggung jawab adalah berada di tangan presiden.
Walaupun
presiden berada dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, menurut Indra (1989:10)
bahwa presiden tetap mempunyai kekuasaan yang sangat besar karena pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan berdasarkan undang-undang, di mana
presiden turut serta dalam pembentukan undang-undang tersebut. Begitu juga
pemerintah turut serta menyeleksi siapa-siapa saja yang dapat diangkat menjadi
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Mengenai
pembentukan peraturan pemerintah (pasal 5 ayat 2) juga menurut Indra (1989:6)
bahwa kekuasaan presiden masih besar yakni jika presiden setelah mengesahkan
undang-undang, kemudian merasa dan atau melihat undang-undang itu akan
mengurangi dan atau mengganggu kekuasaannya, maka presiden tidak akan
mengeluarkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang tersebut.
Tanpa peraturan pemerintah suatu undang-undang tidak akan bisa dilaksanakan.
b.
Kekuasaan Presiden dalam bidang
legislatif
Terlihat dari
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, dimana Presiden merupakan partner bagi DPR, artinya Presiden
bekerja sama dengan DPR dalam tugas legislatif yang diantaranya adalah membentuk
undang-undang (pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 21, dan pasal 22),
dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (pasal 23).
Pasal 5 ayat (1)
berbunyi :
Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengang persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 20 ayat
(1) berbunyi :
Tiap-tiap undang-undang menghendaki
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 21
berbunyi :
(1) Anggota-Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
berhak memajukan rancangan Undang-Undang.
(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh presiden, maka rancangan tadi
tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Pasal 22 berbunyi
:
(1) Dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
Undang-Undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat
persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Pasal 23
berbunyi :
(1) Anggaran pendapatan dan
belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan
Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka
pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.
(2) Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.
(3) Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
(4) Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang.
(5) Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan
suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang.
Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam hal ini, presiden mempunyai
kekuasaan yang lebih besar daripada Dewan Perwakilan Rakyat karena menurut
Indra (1989:11) paling sedikit ada dua alasan, pertama karena presiden adalah
pemimpin tertinggi (eksekutif), sedangkan eksekutif biasanya lebih menguasai
permasalahan kenegaraan. Sebagai contoh, sebagian besar undang-undang yang ada
adalah inisiatif pemerintah dan sangat minim sekali undang-undang yang ada
berasal dari inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua, walaupun undang-undang
telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden, tetapi tidak disahkan
presiden, maka undang-undang itu tidak dapat berlaku dan dijalankan. Dengan demikian kedudukan Dewan Perwakilan
Rakyat sangat lemah dibanding dengan presiden, dimana Dewan Perwakilan Rakyat
dengan alasan apapun dan atau dalam keadaan bagaiamanapun tidak mempunyai
kekuasaan untuk membentuk undang-undang sendiri tanpa persetujuan presiden.
c.
Kekuasaan Presiden dalam bidang
yudikatif
Terlihat dari
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, kekuasaan presiden dalam
bidang yudikatif yaitu pasal 14.
Pasal 14
berbunyi :
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan
rehabilitasi.
Dari pasal 14
UUD 1945 ini terlihat kekuasaan presiden yang besar yang disamping mempunyai
kekuasaan eksekutif dan legislatif, juga mempunyai kekuasaan untuk mencampuri kekuasaan
kehakiman yang sebenarnya menurut pasal 24 dan 25 UUD 1945 serta penjelasannya
adalah harus bebas, merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan
negara lainnya yaitu kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Tapi dengan
adanya pasal 14 UUD 1945 ini, maka kekuasaan kehakiman itu sebenarnya tidaklah
bebas seratus persen. Disini tampak bahwa presiden mempunyai hak menguji
terhadap keputusan-keputusan Mahkamah Agung yang menyebabkan presiden mempunyai
kekuasaan yang sangat besar dalam bidang yudikatif.
Paham konstitusi
modern menurut Indra (1989:16) bahwa kekuasaan kehakiman harus dibebaskan dari
pengaruh kekuasaan-kekuasaan lainnya di dalam negara demi menegakkan hukum
untuk mencapai keadilan dan kebenaran, sehingga wewenang presiden dalam memberi
grasi pada hakikatnya merupakan campur tangan eksekutif dalam bidang yustisial.
Dari sejarahnya,
grasi dahulu sebenarnya diberikan untuk kepentingan terhukum oleh raja pada
waktu ia masih berdaulat penuh berdasarkan pertimbangan kemanusiaan. Dengan
alasan itu maka sekalipun konstitusi modern menghendaki adanya pemisahan
kekuasaan yudikatif dengan kekuasaan-kekuasaan negara lainnya (eksekutif dan
legislatif) namun wewenang ini hingga kini masih dipertahankan terus seperti
juga di Inggris.
d. Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara
Terlihat dari
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, kekuasaan presiden sebagai
kepala negara yaitu pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan pasal 15.
Pasal 10
berbunyi :
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi
atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Pasal 11
berbunyi :
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Pasal 12
berbunyi :
Presiden menyatakan keadaan bahaya.
Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 13
berbunyi :
(1) Presiden
mengangkat duta dan konsul.
(2) Presiden
menerima duta negara lain.
Pasal 15
berbunyi :
Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan
lain-lain tanda kehormatan.
Kekuasaan
presiden berdasarkan pasal 10, 11, 12, 13, dan 15 UUD 1945 diberikan oleh
Undang-Undang Dasar kepada Presiden karena sebagai kepala negara, presiden
merupakan lambang kesatuan dan persatuan bangsa. Presiden bertanggung jawab
atas pasang surut yang dialami rakyat, bangsa dan negara untuk mencapai
kesejahteraan dan kebahagian dalam rangka mencapai masyarakat yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
D. AKHIR KATA
Demikian untuk bahasan masa ini, semoga manfaat. Untuk kekuasaan Presiden setelah UUD 1945 diamandemen, sila ncik-ncik bahas.
REFERENSI :
Alrasid, Harun. 1999. Pengisian Jabatan Presiden. PT Utama Pustaka
Grafiti, Jakarta.
Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Chaidir, Ellydar dan Sudi Fahmi. S. 2010. Hukum Perbandingan
Konstitusi. Total Media, Yogyakarta.
Indra, Haji Muhammad Ridhwan. 1989. Kedudukan Presiden dalam UUD 1945.
CV Haji Masagung, Jakarta.
Syafiie, Inu Kencana. 2002. Sistem Pemerintahan Indonesia (Edisi Revisi).
Rineka Cipta, Jakarta.
UUD ’45 dan Amandemennya. Penerbit
Fokusmedia.
http://www.elvinmiradi.com/penyimpangan-konstitusi-dan-akibatnya/index.html,diakses
tanggal 14 November 2010.
1 komentar:
[url=http://commentjob.ru/#hsbxd]link here[/url] - cool site , http://commentjob.ru/#uriws nice page
Posting Komentar