Kamis, 05 Januari 2012

Apakah Korupsi Melanggar Etika ?

APAKAH KORUPSI MELANGGAR ETIKA ?



A. Pembuka
Apakah korupsi melanggar etika?, ya, iyalah... anak kecil aja tau... . Tapi bagaimana penjelasan secara teorinya?. Untuk menjawab hal tersebut, walaupun sangat terbatas berikut saya coba menjawabnya berdasarkan pemikiran-pemikiran para ahli. Dalam hal ini, kasus korupsi anggota DPR RI sebagai acuan pembandingnya.
Individu yang sedang mengenggam kekuasaan (sebagai anggota DPR RI), bukanlah individu yang semuanya dikaruniai kualitas moral yang lebih tinggi dari orang kebanyakan. Secara moral mereka sama saja dengan rakyat yang mereka wakili. Bahkan mereka jauh lebih rentan terhadap kesalahan dan kejatuhan. Mengapa?, karena mereka memiliki kekuasaan, yang dalam dirinya selalu mengandung kecenderungan untuk disalahgunakan.
 Realitas sekarang ini bahwa anggota DPR RI cenderung dalam melaksanakan fungsi-fungsinya lebih memperlihatkan pertarungan kekuatan dan kepentingan tanpa memperhatikan yang idealnya, dan tidak tunduk kepada apa yang seharusnya, sehingga yang terjadi mengabaikan apa yang sepatutnya dilakukan. Sementara itu, ditengah-tengah kehidupan kita terjadi pertarungan kepentingan pribadi dan kelompok antar para elite politik (anggota DPR RI). Selain itu, money politic yang dilakukan oleh sebagian para politisi dalam meraih jabatan sebagai anggota DPR RI dipertonton dengan mencolok tanpa merasa malu dan bersalah, sehingga menampakkan sebagian para anggota DPR RI tidak tahu lagi membedakan antara yang halal dan haram dan antara yang benar dan salah (ingat hanya sebagian anggota DPR RI yang demikian).
Kemudian, keadaan ini diperparah oleh kasus-kasus korupsi yang belakangan membawa para anggota DPR RI ke jeruji-jeruji penjara. Harapan masyarakat setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru masalah Korupsi Kolusi Nepotisme akan hilang, tetapi kenyataannya justru sebaliknya korupsi semakin hari semakin meningkat, sehingga etika dikalangan anggota DPR RI yang kenyataannya menjadi pemimpin formal bangsa ini cenderung semakin terpuruk. Serta tampaknya sebagian anggota DPR RI tidak lagi mampu membedakan antara wewenang mereka dan bukan, antara kebijakan dan tindakan yang benar dan yang salah.
Terkait dengan hal itu, fakta tergambar dengan sangat jelas dan secara kasatmata dilihat oleh publik sebagai kenyataan perilaku yang tidak saja tercela tetapi juga melanggar hukum. Fakta tersebut terlihat dari beberapa kasus yang menimpa anggota DPR RI, antara lain :
1.    Bulyan Royan (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), tertangkap tangan oleh KPK terkait kasus suap. Bulyan Royan tertangkap tangan di Plaza Senayan Jakarta, dalam kasus penyimpangan penggunaan anggaran dari Departemen Perhubungan (http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011).
2.   Al Amin Nasution (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), tertangkap tangan oleh KPK terkait dengan kasus alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau (http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011).
3.    Sarjan Tahir (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), ditangkap terkait kasus pengalihan fungsi hutan bakau menjadi pelabuhan di Banyuasin, Sumatera Selatan (http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011).
4.   Saleh Djasit (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), terkait kasus saat menjabat sebagai gubernur Riau (http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011).
5.  Kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, KPK menahan 19 politisi (mantan/anggota DPR RI) yaitu Ni Luh Mariani Tirtasari, Engelina Pattiasina, Paskah Suzetta, Soetanto Pranoto, Poltak Sitorus, Sofyan Usman, HM Danial Tanjung, Matheos Pormes, Achmad Hafiz Zawawi, Martin Bria Seran, M Iqbal, Soewarno, Baharudin Aritonang, TM Nurliff, Asep Ruchimat Sudjana, Reza kamarullah, Panda Nababan, Agus Condro, dan Max Moein (http://www.vivanews.com., diakses tanggal 18 Maret 2011).

 B.  Teori

1. Etika
Etika, etik, atau ethic berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti character (Inggris), watak atau sifat, dan adat kebiasaan. Ethos merupakan suatu studi yang sistematik tentang hakekat konsep nilai-nilai baik, buruk, apa yang seharusnya, yang benar atau yang salah, dan prinsip-prinsip umum yang dapat memberikan alasan tertentu dalam penggunaan penilaian terhadap sesuatu hal (Garna, 2001).
Selain itu, ethos juga disebut filsafat moral, yang berasal dari bahasa Latin mos, mores, artinya cara hidup, adat istiadat atau istiadat (Garna, 2001). Selanjutnya menurut Suryaningrat (dalam Garna, 2001) bahwa dalam bahasa Indonesia kata etika relatif jarang digunakan, untuk arti yang serupa meliputi etika, biasanya kata yang dipakai adalah susila, moral, akhlak, sopan santun, dan tata karma, yang kemudian dalam pemakaiannya dapat memiliki tekanan pengertian tertentu yang tergantung pada lingkupnya.
Terkait dengan hal tersebut, maka menurut Garna (2001) bahwa :
Etika menjiwai dan memberi pedoman dalam pergaulan hidup, serta mengandung sejumlah penilaian tentang perbuatan manusia, yang menurut ungkapan itu maka etika menjadi ilmu tentang azas moral, akhlak, sopan santun, budi pekerti, dan tata karma. Ajaran, sebagai apa yang dikemukakan, etiket adalah anjuran tentang baik buruknya perbuatan; dan moral adalah ajaran tentang baik buruknya perbuatan, kelakuan dan kewajiban manusia, sedangkan susila berarti sopan, beradab, baik budi pekerti. Kesusilaan ialah pengetahuan tentang adab; dan tata karma ialah aturan tentang sopan santun atau hormat, yang dalam lingkup ini etika dapat berarti adat istiadat (custom).

Senada dengan pendapat diatas, maka menurut Vos (dalam Garna, 2001) etika adalah ilmu tentang kesusilaan atau moral. Moral (mos, mores) berarti kaidah, aturan, atau norma, yang dikaitkan dengan etika maka etika berarti pengetahuan tentang norma dari perbuatan dan tingkah laku manusia yang berhubungan dengan baik dan tidak baik.
Kemudian, menurut Garna (2001) moral adalah berbagai hal yang mendorong manusia melakukan tindakan yang baik sebagai suatu kewajiban atau norma. Apabila demikian maka moral itu juga dapat bermakna atau berfungsi sebagai sarana untuk mengukur benar atau tidak benarnya tingkah laku serta tindakan manusia.
Selanjutnya, moralitas menurut Garna (2001) digunakan untuk menentukan sampai sejauh mana seseorang itu mempunyai dorongan melaksanakan tindakannya sesuai dengan prinsip etika dan moral. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki moralitas, namun tingkat moralitas masing-masing manusia berbeda, perbedaannya terletak pada kuat tidaknya dorongan setiap manusia dalam mencari kebenaran dan kebaikan, karena pada hakekatnya masing-masing manusia selalu mencari kebenaran dan kebaikan.
Selain itu, Garna (2001) juga mengungkapkan bahwa istilah etika memiliki makna yang lebih mendalam dari kata moral, apabila kata moral menyatakan tindakan atau perbuatan lahirian seseorang, maka etika bukan hanya menyangkut tentang perbuatan lahirian saja, tetapi mencakup kaidah dan motif perbuatan seseorang yang lebih dalam dari apa yang tampak.
Terkait dengan hal tersebut, Ndraha (2006) mengungkapkan bahwa disamping etika dan moral terdapat konsep lain yaitu etiket. Menurut Nugroho (dalam Ndraha, 2006) bahwa etiket hanya melihat perilaku luar manusia, perilaku formal yang disepakati dalam kondisi-kondisi atau situasi khusus, berbeda dengan etika yang lebih mengamati ruang batiniah, yang mungkin berbeda dengan apa yang ada diluar.
Oleh karena itu, menurut Ndraha (2006) :
Perilaku luar manusia itu terdapat fenomena lain yang kualitasnya sebagai berikut : (1) bersumber dari kesadaran (2) oleh sebab itu bersifat universal (3) kesadaran itu menunjukkan mana yang baik, benar, utama, patut, dan berguna, dan mana yang sebaliknya (4) tertanam kuat-kuat secara sadar di dalam jiwa (5) digunakan secara konsisten (6) sanksinya jika dilanggar datang dari yang ditanggung secara sukarela oleh diri sendiri. Jika sumber normanya yang sedemikian itu disebut kesadaran etik, dan norma itu sendiri disebut etika, maka ada etika sebagai norma (norma etik) dan ada etika sebagai subBOK Filsafat.

Dengan demikian, menurut Ndraha (2006) bahwa :
Kesadaran etik melahirkan pertimbangan etik. Berdasarkan pertimbangan etik diambil keputusan etik. Keputusan etik disusul dengan tindakan etik yang terlihat melalui perilaku etik. Perilaku etik itulah kemudian yang dapat diamati dan diukur. Kesadaran etik, pertimbangan etik, dan keputusan etik sulit diamati, karena terjadi di dalam diri yang bersangkutan. Tetapi tindakan etik, yang terlihat melalui perilaku etik bisa diukur menurut tingkat keetikan atau etikalitas, karena terjadi dalam hubungan antar warga masyarakat, dapat diamati dan direkam.




Selanjutnya, bagaimanakah perintah atau norma susila itu dapat mengikat kelakuan, dan dari manakah kekuatan yang menyebabkan norma tersebut mengikat, serta mengapakah dilarang melanggar aturan atau norma susila itu?. Maka menurut Suryaningrat (dalam Garna, 2001) ada enam kategori dari berbagai aliran filsafat atau pandangan etika yang menyangkut tentang sesuatu yang baik sekaligus jawaban atas pertanyaan tersebut, antara lain :
1.  Etika teleologisme, bahwa sesuatu yang dipandang baik adalah sesuatu yang sesuai dengan kehendak Tuhan, demikian sebaliknya.
2.  Etika hedonistik, bahwa yang dianggap baik itu ialah perbutan yang dapat mendatangkan kesenangan, kenikmatan atau kepuasaan rasa.
3.      Etika eudaemonisme, bahwa yang dianggap baik ialah yang mendatangkan kebahagiaan.
4.   Etika utilistik, bahwa tolok ukur perbuatan baik adalah menurut guna, tidak peduli bagaimana menurut umum, yang penting berguna bagi yang melakukannya. Tolok ukurnya berlaku hanya untuk seseorang saja (individual), dan manakala berlaku bagi suatu masyarakat maka disebut sosial.
5.    Etika vitalistik, bahwa perbuatan baik itu tergantung oleh seberapa kuat pemilik dari kekuasaan atau kekuatan, karena itu orang atau kelompok yang baik adalah orang atau kelompok yang terkuat.
6.    Etika naturalistik, bahwa perbuatan baik itu adalah ungkapan dari proses dan wujud kesadaran manusia yang menghormati pada pribadi manusia sendiri. Tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai dengan derajat manusia dan kodrat kemanusiaannya.

Kemudian Shidarta (2006) menegaskan bahwa :
Dalam konteks etika anggota DPR berarti menyangkut tentang sistem nilai yang menjadi pegangan atau pedoman anggota DPR, mengenai apa yang tidak patut dilakukan selama menjalankan tugas sebagai anggota DPR. Nilai-nilai tersebut dirumuskan dalam suatu norma tertulis yang kemudian disebut Kode Etik, sehingga jelas kiranya apabila etika diartikan dalam dua hal yakni sebagai sistem nilai dan sebagai ilmu atau cabang filsafat.

Selain itu, dalam konteks etika politik dijelaskan oleh Ricoeur (dalam Haryatmoko, 2003) bahwa pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan yakni pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain..., kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Kemudian, Ricoeur (dalam Haryatmoko, 2003) juga menegaskan bahwa tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil.
Selanjutnya Haryatmoko (2003) menyimpulkan bahwa :
Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.


2. Kekuasaan dan Trias Politika
Keberadaan suatu kekuasaan dalam suatu negara tidak bisa dinafikan, melalui kekuasaan, seseorang bisa mempengaruhi orang lain untuk mencapai kepentingan bersama. Hal ini menurut Budiardjo (2009) dapat dilihat dari perumusan yang umumnya dikenal yakni kekuasaan adalah kemampuan seseorang pelaku untuk mempengaruhi perilaku seorang pelaku lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Dalam perumusan ini pelaku bisa berupa seorang, sekelompok orang, atau suatu kolektivitas.
Senada dengan pemikiran diatas juga diungkapkan oleh Laswell dan Kaplan (dalam Budiardjo, 2009) yaitu kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok orang lain ke arah tujuan dari pihak pertama.
Berkaitan dengan konsep kekuasaan diatas, dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter. Oleh karena untuk menghindari hal tersebut maka harus ada pemisahan kekuasaan negara. Sebagaimana konsep trias politika yang dikemukakan oleh Montesquieu (dalam Syafiie, 2002) yakni kekuasaan legislatif yaitu pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif (presiden) yaitu pelaksana undang-undang, kekuasaan yudikatif yaitu yang mengadili (badan peradilan).
Namun demikian, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia mengenai konsep trias politika diatas, maka menurut Budiardjo (2009) bahwa ketiga undang-undang dasar di Indonesia tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politika dianut, tetapi karena ketiga undang-undang dasar menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia mengatur trias politika dalam arti pembagian kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan.

3. Perwakilan
Lembaga perwakilan muncul karena asas demokrasi langsung tidak mungkin lagi dapat dijalankan, disebabkan bertambahnya penduduk, luasnya wilayah negara dan bertambah rumitnya urusan kenegaraan. Oleh karena itu, menurut Fatwa (2004) :
Perwakilan merupakan mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat. Dengan demikian, yang bekepentingan terhadap lembaga perwakilan ini adalah rakyat, karena rakyat merupakan pihak yang diwakili atau selaku pihak yang menyerahkan kekuasaan/mandat untuk mewakili opini, sikap, dan kepentingannya kepada lembaga perwakilan didalam proses politik dan pemerintahan.

Selain itu, menurut Crespo (dalam Feulner dan Solechah, 2008) prinsip perwakilan memiliki dua aspek utama, yakni :
Aspek pertama berarti bahwa parlemen harus mencerminkan kehendak rakyat seperti yang disuarakan selama pemilihan umum (pemilu) secara demokratis dan pilihan pemilih untuk wakil-wakil mereka dan partai politik. Aspek kedua yang merupakan perwakilan dari keanekaragaman sosial masyarakat dari segi jender, bahasa, agama, etnisitas, minoritas, atau
karakteristik politis yang signifikan lainnya.

Kemudian, menurut Feulner dan Solechah (2008) bahwa :
Anggota DPR selain wakil rakyat juga merupakan representasi dari Partai Politik yang menghantarkannya. Mendengar, menyalurkan, maupun memperjuangkan aspirasi rakyat sejatinya merupakan bagian dari kewajiban anggota DPR yang juga kader partai politik dalam rangka menjalankan fungsi maupun tanggung-jawabnya.

Peran utama dari lembaga perwakilan adalah sebagai badan pembuat hukum, dan sebagai himpunan wakil rakyat. Selain itu, peran lainnya seperti pengawasan dan sosialisasi terjadi melalui pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga ini. Diberbagai negara terdapat perbedaan dalam merumuskan fungsi badan perwakilan. Namun demikian, ada persamaan hakekat tentang fungsi lembaga perwakilan antar negara, maka secara keseluruhan menurut Sanit (1985) fungsi badan perwakilan ialah perundang-undangan, keuangan, pengawasan, pemilihan pejabat, dan internasional.

4. Korupsi
Kata Latin corruptus, (corrupt) menimbulkan serangkaian gambaran kejahatan; kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan. Ada nada moral pada kata tersebut (Klitgaard, 2005).
Sementara itu, salah satu definisi korupsi menurut kamus lengkap Webster’s Third New International Dictionary (dalam Klitgaard, 2005) adalah ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas.
Selain itu, Klitgaard (2005)  mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.
Kemudian, Philip (dalam Saidi, dkk, 2006) menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga pengertian luas yang dapat digunakan untuk berbagai pembahasan tentang korupsi, yaitu :
Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publik (public office-centered corruption), yang didefinisikan tindakan pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Kedua, pengertian korupsi yang dikaitkan dampaknya dengan kepentingan umum (public interest-centered). Jenis korupsi ini bisa terjadi jika pemegang kekuasaan atau pejabat publik, yang menerima imbalan tertentu, sehingga merusak kepentingan publik. Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) dengan menggunakan teori pilihan publik, sosial dan ekonomi di dalam kerangka analisa politik. Dalam konteks ini korupsi dianggap “lembaga” ekstra legal yang digunakan individu atau kelompok untuk mendapatkan pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi.

Atas dasar ketiga pengertian korupsi  diatas, maka Leiken (dalam Saidi, dkk, 2006) merumuskan pengertian korupsi, yakni korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik untuk mendapatkan keuntungan (material) pribadi atau kemanfaatan politik.
Sedangkan tindak pidana korupsi menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain itu, tindak pidana korupsi menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kemudian dalam Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa.

Selanjutnya, Pope (dalam Saidi, dkk, 2006) menegaskan bahwa :

Korupsi dapat terjadi jika ada kesempatan dan keinginan dalam waktu bersamaan. Kesempatan (structural) dan keinginan (cultural) sangat memegang penjelasan kunci bagaimana korupsi itu bisa terjadi. Jika masalah peluang lebih berkaitan dengan ada-tidaknya kontrol, maka masalah keinginan lebih berkaitan dengan integritas moralitas yang dimiilki aktor. Keduanya, tidak bisa saling menafikan. Jika ada kesempatan tetapi tidak ada keinginan, maka korupsi tidak akan terjadi. Sebaliknya, jika ada keinginan tetapi tidak ada kesempatan maka korupsi juga tidak akan terjadi.

Sedangkan tipologi korupsi menurut Alatas (dalam Saidi, dkk, 2006) ialah :
1.   Korupsi transaktif yaitu korupsi yang terjadi dalam bentuk suap antara pemberi dan penerima dalam bentuk saling menguntungkan (simbiose mutualistik).
2.   Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang terjadi akibat pungutan paksa dari pejabat atas jasa yang diberikan, sedangkan pihak luar terpaksa harus memberi karena terpaksa.
3.  Korupsi invensif yaitu pemberian hadiah atau jasa sebagai upaya investasi guna memperoleh kemudahan di masa yang akan datang.
4.    Korupsi nepotistik yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan pada kantor publik maupun  pemberian proyek-proyek bagi kerabat dekat.
5.  Korupsi otogentik  yaitu korupsi yang terjadi jika seorang penjabat menjual informasi rahasia kepada para peserta tender dengan imbalan tertentu.
6.  Korupsi suportif yaitu korupsi yang dilakukan secara jamaah dalam satu bagian dengan tujuan untuk melindungi dan mempertahankan praktik korupsi yang dilakukan secara kolektif.

C.  Apakah Korupsi Melanggar Etika
 Dalam konteks teori kekuasaan, dikatakan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok orang lain ke arah tujuan dari pihak pertama (Laswell dan Kaplan dalam Budiardjo, 2009). Dalam hal ini, ditinjau dari tujuan kekuasaan anggota DPR RI hakekatnya adalah untuk mencapai tujuan negara Republik Indonesia yaitu untuk menyelenggarakan kesejahteraan dan kecerdasan rakyat Indonesia.
 Oleh karena anggota DPR RI adalah wakil dari rakyat dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, maka teori kekuasaan diatas bersesuaian dengan teori perwakilan dimana menurut Fatwa (2004) bahwa :
Perwakilan merupakan mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat. Dengan demikian, yang bekepentingan terhadap lembaga perwakilan ini adalah rakyat, karena rakyat merupakan pihak yang diwakili atau selaku pihak yang menyerahkan kekuasaan/mandat untuk mewakili opini, sikap, dan kepentingannya kepada lembaga perwakilan didalam proses politik dan pemerintahan.

Selain itu, anggota DPR RI adalah juga sebagai politikus, maka menurut konsep etika politik yang dijelaskan oleh Haryatmoko (2003) bahwa politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya, serta memiliki keutamaan-keutamaan moral.
Terkait dengan etika, maka etika (ethos) merupakan hakekat konsep nilai-nilai baik, buruk, apa yang seharusnya, yang benar atau yang salah, dan prinsip-prinsip umum yang dapat memberikan alasan tertentu dalam penggunaan penilaian terhadap sesuatu hal. Dengan mengambil contoh istilah perikemanusiaan, maka perikemanusiaan merupakan merupakan batas antara ada dan tidak ada perikemanusiaan, dan batas tersebut disebut ethos. Kata asal etika itu berarti pagar untuk membatasi gerak ternak agar supaya ternak tidak berkeliaran, dan tetap berada dalam lingkungan pagar tersebut. Lebih lanjut, ethos berarti batas, atau membatasi gerakan dan perbuatan, dan karena yang mampu melakukan perbuatan itu adalah manusia, maka ethos dimaksudkan sebagai batas perbuatan manusia. Dengan demikian, perbuatan yang baik adalah perbuatan yang boleh dilakukan, atau perbuatan yang seharusnya, ataupun perbuatan yang sebaiknya dilakukan, yang berada dalam lingkungan batas tersebut. Jadi perbuatan seperti itu yang digolongkan sebagai perbuatan yang baik, perbuatan yang etik karena dilakukan dalam ethos (Suryaningrat dalam Garna, 2001).
Sementara itu, apakah korupsi merupakan perbuatan yang baik?. Korupsi ditinjau dari asal katanya yakni corruptus, (corrupt) adalah perbuatan yang menimbulkan serangkaian gambaran kejahatan; kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan (Klitgaard, 2005). Kemudian, definisi korupsi adalah sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi (Klitgaard, 2005).
Selain itu tindakan korupsi adalah pertama, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Kedua, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan, dan kaitan antara berbagai teori-teori diatas, serta peraturan perundangan yang ada, maka jelas kiranya bahwa KORUPSI (dengan mengacu pada kasus korupsi anggota DPR RI) ADALAH PERBUATAN atau TINDAKAN YANG MELANGGAR ETIKA.
 Wassalam .... 


REFERENSI :

Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Fatwa, A.M. 2004. Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.

Frank Feulner, dan Solechah. 2008. Peran Perwakilan Parlemen. Jakarta. Sekretariat Jenderal DPR RI dan UNDP.

Garnas, K. Judistira. 2001. Filsafat dan Etika Pemerintahan. Bandung. Primaco Akademika.

Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

Klitgaard, Robert. 2005. Membasmi Korupsi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Ndraha, Taliziduhu. 2006. Kybernologi : Sebuah Scientific Enterprise. Tangerang. Sirao Credentia Center.

Saidi, Anas. dkk. 2006. Pemberantasan Korupsi dan Pemerintahan yang Bersih. Jakarta. LIPI Press.

Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir. Bandung. PT. Refrika Aditama.

Syafiie, Inu Kencana. 2002. Sistem Pemerintahan Indonesia (Edisi Revisi). Rineka Cipta, Jakarta.

http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011
http://www.vivanews.com., diakses tanggal 18 Maret 2011

2 komentar:

Anonim mengatakan...

hi nazaki-nashir.blogspot.com owner found your site via search engine but it was hard to find and I see you could have more visitors because there are not so many comments yet. I have discovered site which offer to dramatically increase traffic to your site http://xrumerservice.org they claim they managed to get close to 1000 visitors/day using their services you could also get lot more targeted traffic from search engines as you have now. I used their services and got significantly more visitors to my site. Hope this helps :) They offer best backlinks service Take care. Jason

Anonim mengatakan...

hiya nazaki-nashir.blogspot.com admin found your website via yahoo but it was hard to find and I see you could have more visitors because there are not so many comments yet. I have found website which offer to dramatically increase traffic to your blog http://xrumerservice.org they claim they managed to get close to 1000 visitors/day using their services you could also get lot more targeted traffic from search engines as you have now. I used their services and got significantly more visitors to my website. Hope this helps :) They offer best backlinks Take care. Jason