APAKAH KORUPSI MELANGGAR ETIKA ?
A. Pembuka
Apakah korupsi melanggar etika?, ya, iyalah... anak kecil aja tau... . Tapi bagaimana penjelasan secara teorinya?. Untuk menjawab hal tersebut, walaupun sangat terbatas berikut saya coba menjawabnya berdasarkan pemikiran-pemikiran para ahli. Dalam hal ini, kasus korupsi anggota DPR RI sebagai acuan pembandingnya.
Individu yang sedang mengenggam kekuasaan (sebagai anggota
DPR RI), bukanlah individu yang semuanya dikaruniai kualitas moral yang lebih tinggi
dari orang kebanyakan. Secara moral mereka sama saja dengan rakyat yang mereka wakili. Bahkan mereka jauh lebih rentan terhadap kesalahan dan kejatuhan.
Mengapa?, karena mereka memiliki kekuasaan, yang dalam dirinya selalu
mengandung kecenderungan untuk disalahgunakan.
Realitas
sekarang ini bahwa anggota DPR RI cenderung dalam
melaksanakan fungsi-fungsinya lebih memperlihatkan pertarungan kekuatan dan
kepentingan tanpa memperhatikan yang idealnya, dan tidak tunduk kepada apa yang
seharusnya, sehingga yang terjadi mengabaikan apa yang sepatutnya dilakukan. Sementara
itu, ditengah-tengah kehidupan kita terjadi pertarungan
kepentingan pribadi dan kelompok antar para elite politik (anggota DPR RI). Selain itu, money politic yang dilakukan oleh sebagian para
politisi dalam meraih jabatan sebagai anggota DPR RI dipertonton dengan
mencolok tanpa merasa malu dan bersalah, sehingga menampakkan sebagian para anggota
DPR RI tidak tahu lagi membedakan antara yang halal dan haram dan antara yang
benar dan salah (ingat hanya sebagian anggota DPR RI yang demikian).
Kemudian,
keadaan ini diperparah oleh kasus-kasus korupsi yang belakangan membawa para anggota DPR RI ke jeruji-jeruji penjara. Harapan masyarakat setelah jatuhnya
pemerintahan Orde Baru masalah Korupsi Kolusi Nepotisme akan hilang, tetapi
kenyataannya justru sebaliknya korupsi semakin hari semakin meningkat, sehingga
etika dikalangan anggota DPR RI yang kenyataannya menjadi pemimpin formal
bangsa ini cenderung semakin terpuruk. Serta tampaknya sebagian anggota DPR RI
tidak lagi mampu membedakan antara wewenang mereka dan bukan, antara kebijakan
dan tindakan yang benar dan yang salah.
Terkait dengan hal itu, fakta tergambar dengan sangat jelas dan secara kasatmata
dilihat oleh publik sebagai kenyataan perilaku yang tidak saja tercela tetapi juga melanggar hukum. Fakta tersebut terlihat dari beberapa kasus yang menimpa anggota DPR RI, antara lain :
1. Bulyan Royan (anggota DPR RI Masa Bakti
2004-2009), tertangkap tangan oleh KPK terkait kasus suap. Bulyan Royan
tertangkap tangan di Plaza Senayan Jakarta, dalam kasus penyimpangan penggunaan
anggaran dari Departemen Perhubungan (http://www.kompas.com.,
diakses tanggal 17 Maret 2011).
2. Al
Amin Nasution (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), tertangkap tangan oleh KPK
terkait dengan kasus alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan
Riau (http://www.kompas.com.,
diakses tanggal 17 Maret 2011).
3. Sarjan
Tahir (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), ditangkap terkait kasus pengalihan
fungsi hutan bakau menjadi pelabuhan di Banyuasin, Sumatera Selatan (http://www.kompas.com., diakses
tanggal 17 Maret 2011).
4. Saleh
Djasit (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), terkait kasus saat menjabat
sebagai gubernur Riau (http://www.kompas.com.,
diakses tanggal 17 Maret 2011).
5. Kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia,
KPK menahan 19 politisi (mantan/anggota DPR RI) yaitu Ni Luh Mariani Tirtasari,
Engelina Pattiasina, Paskah Suzetta, Soetanto Pranoto, Poltak Sitorus, Sofyan Usman,
HM Danial Tanjung, Matheos Pormes, Achmad Hafiz Zawawi, Martin Bria Seran, M
Iqbal, Soewarno, Baharudin Aritonang, TM Nurliff, Asep Ruchimat Sudjana, Reza
kamarullah, Panda Nababan, Agus Condro, dan Max Moein (http://www.vivanews.com., diakses
tanggal 18 Maret 2011).
B. Teori
1. Etika
Etika, etik, atau ethic berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti character
(Inggris), watak atau sifat, dan adat kebiasaan. Ethos merupakan suatu studi yang sistematik tentang hakekat konsep
nilai-nilai baik, buruk, apa yang seharusnya, yang benar atau yang salah, dan
prinsip-prinsip umum yang dapat memberikan alasan tertentu dalam penggunaan
penilaian terhadap sesuatu hal (Garna, 2001).
Selain itu, ethos
juga disebut filsafat moral, yang berasal dari bahasa Latin mos, mores, artinya cara hidup, adat
istiadat atau istiadat (Garna, 2001). Selanjutnya menurut Suryaningrat (dalam
Garna, 2001) bahwa dalam bahasa Indonesia kata etika relatif jarang digunakan,
untuk arti yang serupa meliputi etika, biasanya kata yang dipakai adalah
susila, moral, akhlak, sopan santun, dan tata karma, yang kemudian dalam
pemakaiannya dapat memiliki tekanan pengertian tertentu yang tergantung pada
lingkupnya.
Terkait dengan hal tersebut, maka menurut Garna
(2001) bahwa :
Etika menjiwai dan memberi pedoman dalam pergaulan
hidup, serta mengandung sejumlah penilaian tentang perbuatan manusia, yang
menurut ungkapan itu maka etika menjadi ilmu tentang azas moral, akhlak, sopan
santun, budi pekerti, dan tata karma. Ajaran, sebagai apa yang dikemukakan, etiket adalah anjuran tentang baik
buruknya perbuatan; dan moral adalah
ajaran tentang baik buruknya perbuatan, kelakuan dan kewajiban manusia,
sedangkan susila berarti sopan,
beradab, baik budi pekerti. Kesusilaan
ialah pengetahuan tentang adab; dan tata karma ialah aturan tentang sopan
santun atau hormat, yang dalam lingkup ini etika dapat berarti adat istiadat (custom).
Senada dengan pendapat diatas, maka menurut Vos
(dalam Garna, 2001) etika adalah ilmu tentang kesusilaan atau moral. Moral (mos, mores) berarti kaidah, aturan, atau
norma, yang dikaitkan dengan etika maka etika berarti pengetahuan tentang norma
dari perbuatan dan tingkah laku manusia yang berhubungan dengan baik dan tidak
baik.
Kemudian, menurut Garna (2001) moral adalah berbagai
hal yang mendorong manusia melakukan tindakan yang baik sebagai suatu kewajiban
atau norma. Apabila demikian maka moral itu juga dapat bermakna atau berfungsi
sebagai sarana untuk mengukur benar atau tidak benarnya tingkah laku serta
tindakan manusia.
Selanjutnya, moralitas menurut Garna (2001)
digunakan untuk menentukan sampai sejauh mana seseorang itu mempunyai dorongan
melaksanakan tindakannya sesuai dengan prinsip etika dan moral. Oleh karena
itu, setiap manusia memiliki moralitas, namun tingkat moralitas masing-masing
manusia berbeda, perbedaannya terletak pada kuat tidaknya dorongan setiap
manusia dalam mencari kebenaran dan kebaikan, karena pada hakekatnya
masing-masing manusia selalu mencari kebenaran dan kebaikan.
Selain itu, Garna (2001) juga mengungkapkan bahwa
istilah etika memiliki makna yang lebih mendalam dari kata moral, apabila kata
moral menyatakan tindakan atau perbuatan lahirian seseorang, maka etika bukan
hanya menyangkut tentang perbuatan lahirian saja, tetapi mencakup kaidah dan
motif perbuatan seseorang yang lebih dalam dari apa yang tampak.
Terkait dengan hal tersebut, Ndraha (2006)
mengungkapkan bahwa disamping etika dan moral terdapat konsep lain yaitu
etiket. Menurut Nugroho (dalam Ndraha, 2006) bahwa etiket hanya melihat perilaku
luar manusia, perilaku formal yang disepakati dalam kondisi-kondisi atau
situasi khusus, berbeda dengan etika yang lebih mengamati ruang batiniah, yang
mungkin berbeda dengan apa yang ada diluar.
Oleh karena itu, menurut Ndraha (2006) :
Perilaku luar manusia itu terdapat fenomena lain
yang kualitasnya sebagai berikut : (1) bersumber dari kesadaran (2) oleh sebab
itu bersifat universal (3) kesadaran itu menunjukkan mana yang baik, benar,
utama, patut, dan berguna, dan mana yang sebaliknya (4) tertanam kuat-kuat
secara sadar di dalam jiwa (5) digunakan secara konsisten (6) sanksinya jika
dilanggar datang dari yang ditanggung secara sukarela oleh diri sendiri. Jika
sumber normanya yang sedemikian itu disebut kesadaran etik, dan norma itu
sendiri disebut etika, maka ada etika sebagai norma (norma etik) dan ada etika
sebagai subBOK Filsafat.
Dengan demikian, menurut Ndraha (2006) bahwa :
Kesadaran etik melahirkan pertimbangan etik.
Berdasarkan pertimbangan etik diambil keputusan etik. Keputusan etik disusul
dengan tindakan etik yang terlihat melalui perilaku etik. Perilaku etik itulah
kemudian yang dapat diamati dan diukur. Kesadaran etik, pertimbangan etik, dan
keputusan etik sulit diamati, karena terjadi di dalam diri yang bersangkutan.
Tetapi tindakan etik, yang terlihat melalui perilaku etik bisa diukur menurut
tingkat keetikan atau etikalitas, karena terjadi dalam hubungan antar warga
masyarakat, dapat diamati dan direkam.
Selanjutnya, bagaimanakah perintah atau norma susila
itu dapat mengikat kelakuan, dan dari manakah kekuatan yang menyebabkan norma
tersebut mengikat, serta mengapakah dilarang melanggar aturan atau norma susila
itu?. Maka menurut Suryaningrat (dalam Garna, 2001) ada enam kategori dari
berbagai aliran filsafat atau pandangan etika yang menyangkut tentang sesuatu
yang baik sekaligus jawaban atas pertanyaan tersebut, antara lain :
1. Etika teleologisme,
bahwa sesuatu yang dipandang baik adalah sesuatu yang sesuai dengan kehendak
Tuhan, demikian sebaliknya.
2. Etika hedonistik,
bahwa yang dianggap baik itu ialah perbutan yang dapat mendatangkan kesenangan,
kenikmatan atau kepuasaan rasa.
3.
Etika eudaemonisme,
bahwa yang dianggap baik ialah yang mendatangkan kebahagiaan.
4. Etika utilistik,
bahwa tolok ukur perbuatan baik adalah menurut guna, tidak peduli bagaimana
menurut umum, yang penting berguna bagi yang melakukannya. Tolok ukurnya
berlaku hanya untuk seseorang saja (individual), dan manakala berlaku bagi
suatu masyarakat maka disebut sosial.
5. Etika vitalistik,
bahwa perbuatan baik itu tergantung oleh seberapa kuat pemilik dari kekuasaan
atau kekuatan, karena itu orang atau kelompok yang baik adalah orang atau
kelompok yang terkuat.
6. Etika naturalistik,
bahwa perbuatan baik itu adalah ungkapan dari proses dan wujud kesadaran
manusia yang menghormati pada pribadi manusia sendiri. Tindakan yang baik adalah
tindakan yang sesuai dengan derajat manusia dan kodrat kemanusiaannya.
Kemudian Shidarta (2006) menegaskan bahwa :
Dalam konteks etika anggota DPR berarti menyangkut tentang
sistem nilai yang menjadi pegangan atau pedoman anggota DPR, mengenai apa yang
tidak patut dilakukan selama menjalankan tugas sebagai anggota DPR. Nilai-nilai
tersebut dirumuskan dalam suatu norma tertulis yang kemudian disebut Kode Etik,
sehingga jelas kiranya apabila etika diartikan dalam dua hal yakni sebagai
sistem nilai dan sebagai ilmu atau cabang filsafat.
Selain itu, dalam konteks etika politik dijelaskan oleh Ricoeur (dalam
Haryatmoko, 2003) bahwa pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan yakni
pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain..., kedua,
upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusi-institusi
yang adil. Kemudian, Ricoeur (dalam Haryatmoko, 2003) juga menegaskan
bahwa tujuan etika politik adalah mengarahkan
ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup
kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil.
Selanjutnya Haryatmoko (2003) menyimpulkan bahwa :
Tuntutan
pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang
lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap
dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur,
santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas,
memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan
golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan
yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.
2. Kekuasaan dan Trias Politika
Keberadaan suatu kekuasaan dalam suatu negara tidak
bisa dinafikan, melalui kekuasaan, seseorang bisa mempengaruhi orang lain untuk
mencapai kepentingan bersama. Hal ini menurut Budiardjo (2009) dapat dilihat
dari perumusan yang umumnya dikenal yakni kekuasaan adalah kemampuan seseorang
pelaku untuk mempengaruhi perilaku seorang pelaku lain, sehingga perilakunya
menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Dalam
perumusan ini pelaku bisa berupa seorang, sekelompok orang, atau suatu
kolektivitas.
Senada dengan pemikiran diatas juga diungkapkan oleh
Laswell dan Kaplan (dalam Budiardjo, 2009) yaitu kekuasaan adalah suatu
hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan
seseorang atau kelompok orang lain ke arah tujuan dari pihak pertama.
Berkaitan dengan konsep kekuasaan diatas, dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi
pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem
pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter. Oleh karena untuk
menghindari hal tersebut maka harus ada pemisahan kekuasaan negara.
Sebagaimana konsep trias politika yang dikemukakan oleh Montesquieu (dalam Syafiie, 2002) yakni kekuasaan legislatif yaitu pembuat
undang-undang, kekuasaan eksekutif (presiden) yaitu pelaksana undang-undang,
kekuasaan yudikatif yaitu yang mengadili (badan peradilan).
Namun demikian, dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia mengenai konsep trias politika diatas, maka menurut Budiardjo (2009)
bahwa ketiga undang-undang dasar di Indonesia tidak secara eksplisit mengatakan
bahwa doktrin trias politika dianut, tetapi karena ketiga undang-undang dasar
menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa
Indonesia mengatur trias politika dalam arti pembagian kekuasaan, bukan
pemisahan kekuasaan.
3. Perwakilan
Lembaga
perwakilan muncul karena asas demokrasi langsung tidak mungkin lagi dapat
dijalankan, disebabkan bertambahnya penduduk, luasnya wilayah negara dan
bertambah rumitnya urusan kenegaraan. Oleh karena itu, menurut Fatwa (2004) :
Perwakilan merupakan mekanisme untuk
merealisasikan gagasan normatif bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan
kehendak rakyat. Dengan demikian, yang bekepentingan terhadap lembaga
perwakilan ini adalah rakyat, karena rakyat merupakan pihak yang diwakili atau
selaku pihak yang menyerahkan kekuasaan/mandat untuk mewakili opini, sikap, dan
kepentingannya kepada lembaga perwakilan didalam proses politik dan
pemerintahan.
Selain
itu, menurut Crespo (dalam Feulner dan Solechah, 2008) prinsip perwakilan
memiliki dua aspek utama, yakni :
Aspek
pertama berarti bahwa parlemen
harus mencerminkan kehendak rakyat seperti yang disuarakan selama pemilihan
umum (pemilu) secara demokratis dan pilihan pemilih untuk wakil-wakil mereka
dan partai politik. Aspek kedua yang merupakan perwakilan dari keanekaragaman
sosial masyarakat dari segi jender, bahasa, agama, etnisitas, minoritas, atau
karakteristik
politis yang signifikan lainnya.
Kemudian, menurut Feulner dan Solechah (2008) bahwa
:
Anggota DPR selain wakil rakyat juga
merupakan representasi dari Partai Politik yang menghantarkannya. Mendengar,
menyalurkan, maupun memperjuangkan aspirasi rakyat sejatinya merupakan bagian
dari kewajiban anggota DPR yang juga kader partai politik dalam rangka
menjalankan fungsi maupun tanggung-jawabnya.
Peran
utama dari lembaga perwakilan adalah sebagai badan pembuat hukum, dan sebagai
himpunan wakil rakyat. Selain itu, peran lainnya seperti pengawasan dan
sosialisasi terjadi melalui pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga ini. Diberbagai
negara terdapat perbedaan dalam merumuskan fungsi badan perwakilan. Namun
demikian, ada persamaan hakekat tentang fungsi lembaga perwakilan antar negara,
maka secara keseluruhan menurut Sanit (1985) fungsi badan perwakilan ialah
perundang-undangan, keuangan, pengawasan, pemilihan pejabat, dan internasional.
4. Korupsi
Kata Latin corruptus,
(corrupt) menimbulkan serangkaian
gambaran kejahatan; kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan. Ada nada
moral pada kata tersebut (Klitgaard, 2005).
Sementara itu, salah satu definisi korupsi menurut
kamus lengkap Webster’s Third New
International Dictionary (dalam Klitgaard, 2005) adalah ajakan (dari
seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang semestinya
(misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas.
Selain itu, Klitgaard (2005) mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku
yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan
status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok
sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku
pribadi.
Kemudian, Philip (dalam Saidi, dkk, 2006)
menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga pengertian luas yang dapat digunakan
untuk berbagai pembahasan tentang korupsi, yaitu :
Pertama, pengertian
korupsi yang berpusat pada kantor publik (public
office-centered corruption), yang didefinisikan tindakan pejabat publik
yang menyimpang dari tugas-tugas
publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Kedua, pengertian korupsi yang dikaitkan dampaknya dengan kepentingan
umum (public interest-centered).
Jenis korupsi ini bisa terjadi jika pemegang kekuasaan atau pejabat publik,
yang menerima imbalan tertentu, sehingga merusak kepentingan publik. Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat
pada pasar (market-centered) dengan
menggunakan teori pilihan publik, sosial dan ekonomi di dalam kerangka analisa
politik. Dalam konteks ini korupsi dianggap “lembaga” ekstra legal yang
digunakan individu atau kelompok untuk mendapatkan pengaruh terhadap kebijakan
dan tindakan birokrasi.
Atas dasar ketiga pengertian korupsi diatas, maka Leiken (dalam Saidi, dkk, 2006)
merumuskan pengertian korupsi, yakni korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik
untuk mendapatkan keuntungan (material) pribadi atau kemanfaatan politik.
Sedangkan tindak pidana korupsi menurut pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Selain
itu, tindak pidana korupsi menurut pasal
3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
adalah setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Kemudian
dalam Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa korupsi
di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan
dengan cara luar biasa.
Selanjutnya, Pope (dalam Saidi, dkk, 2006)
menegaskan bahwa :
Korupsi dapat terjadi jika ada kesempatan dan
keinginan dalam waktu bersamaan. Kesempatan (structural) dan keinginan (cultural)
sangat memegang penjelasan kunci bagaimana korupsi itu bisa terjadi. Jika
masalah peluang lebih berkaitan dengan ada-tidaknya kontrol, maka masalah
keinginan lebih berkaitan dengan integritas moralitas yang dimiilki aktor.
Keduanya, tidak bisa saling menafikan. Jika ada kesempatan tetapi tidak ada
keinginan, maka korupsi tidak akan terjadi. Sebaliknya, jika ada keinginan
tetapi tidak ada kesempatan maka korupsi juga tidak akan terjadi.
Sedangkan tipologi korupsi menurut Alatas (dalam
Saidi, dkk, 2006) ialah :
1. Korupsi transaktif yaitu korupsi yang terjadi dalam
bentuk suap antara pemberi dan penerima dalam bentuk saling menguntungkan (simbiose mutualistik).
2. Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang terjadi akibat
pungutan paksa dari pejabat atas jasa yang diberikan, sedangkan pihak luar
terpaksa harus memberi karena terpaksa.
3. Korupsi invensif yaitu pemberian hadiah atau jasa
sebagai upaya investasi guna memperoleh kemudahan di masa yang akan datang.
4. Korupsi nepotistik yaitu korupsi yang terjadi karena
perlakuan khusus baik dalam pengangkatan pada kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi kerabat dekat.
5. Korupsi otogentik
yaitu korupsi yang terjadi jika seorang penjabat menjual informasi
rahasia kepada para peserta tender dengan imbalan tertentu.
6. Korupsi suportif yaitu korupsi yang dilakukan secara
jamaah dalam satu bagian dengan tujuan untuk melindungi dan mempertahankan
praktik korupsi yang dilakukan secara kolektif.
C.
Apakah Korupsi Melanggar Etika
Dalam
konteks teori kekuasaan, dikatakan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang
dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok orang lain ke arah tujuan
dari pihak pertama (Laswell dan Kaplan dalam Budiardjo, 2009). Dalam hal ini, ditinjau
dari tujuan kekuasaan anggota DPR RI hakekatnya adalah untuk mencapai tujuan
negara Republik Indonesia yaitu untuk menyelenggarakan kesejahteraan dan
kecerdasan rakyat Indonesia.
Oleh karena
anggota DPR RI adalah wakil dari rakyat dalam menyelenggarakan pemerintahan
negara, maka teori kekuasaan diatas bersesuaian dengan teori perwakilan dimana
menurut Fatwa
(2004) bahwa :
Perwakilan
merupakan mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa pemerintahan
harus dijalankan dengan kehendak rakyat. Dengan demikian, yang bekepentingan
terhadap lembaga perwakilan ini adalah rakyat, karena rakyat merupakan pihak
yang diwakili atau selaku pihak yang menyerahkan kekuasaan/mandat untuk
mewakili opini, sikap, dan kepentingannya kepada lembaga perwakilan didalam
proses politik dan pemerintahan.
Selain itu, anggota DPR RI adalah juga
sebagai politikus, maka menurut konsep etika politik yang dijelaskan oleh
Haryatmoko (2003) bahwa politikus yang baik adalah
jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas,
memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya,
serta memiliki keutamaan-keutamaan moral.
Terkait dengan etika, maka etika (ethos) merupakan hakekat konsep
nilai-nilai baik, buruk, apa yang seharusnya, yang benar atau yang salah, dan
prinsip-prinsip umum yang dapat memberikan alasan tertentu dalam penggunaan
penilaian terhadap sesuatu hal. Dengan mengambil contoh istilah perikemanusiaan,
maka perikemanusiaan merupakan merupakan batas antara ada dan tidak ada
perikemanusiaan, dan batas tersebut disebut ethos.
Kata asal etika itu berarti pagar untuk membatasi gerak ternak agar supaya
ternak tidak berkeliaran, dan tetap berada dalam lingkungan pagar tersebut.
Lebih lanjut, ethos berarti batas,
atau membatasi gerakan dan perbuatan, dan karena yang mampu melakukan perbuatan
itu adalah manusia, maka ethos
dimaksudkan sebagai batas perbuatan manusia. Dengan demikian, perbuatan yang
baik adalah perbuatan yang boleh dilakukan, atau perbuatan yang seharusnya,
ataupun perbuatan yang sebaiknya dilakukan, yang berada dalam lingkungan batas
tersebut. Jadi perbuatan seperti itu yang digolongkan sebagai perbuatan yang
baik, perbuatan yang etik karena dilakukan dalam ethos (Suryaningrat dalam Garna, 2001).
Sementara itu, apakah korupsi merupakan perbuatan
yang baik?. Korupsi ditinjau dari asal katanya yakni corruptus, (corrupt)
adalah perbuatan yang menimbulkan serangkaian gambaran kejahatan; kata itu
berarti apa saja yang merusak keutuhan (Klitgaard, 2005). Kemudian, definisi
korupsi adalah sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi
sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut
pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar
aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi (Klitgaard, 2005).
Selain itu tindakan korupsi adalah pertama, setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara (pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi). Kedua, setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara (pasal 3 Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Dengan
demikian,
berdasarkan penjelasan, dan kaitan antara berbagai teori-teori diatas,
serta peraturan perundangan yang ada, maka jelas kiranya bahwa KORUPSI (dengan mengacu pada kasus korupsi anggota DPR RI) ADALAH PERBUATAN atau TINDAKAN YANG MELANGGAR ETIKA.
Wassalam ....
REFERENSI :
Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Fatwa, A.M. 2004. Melanjutkan Reformasi Membangun
Demokrasi. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.
Frank Feulner, dan Solechah. 2008. Peran Perwakilan
Parlemen. Jakarta. Sekretariat Jenderal DPR RI dan UNDP.
Garnas, K. Judistira.
2001. Filsafat dan Etika Pemerintahan. Bandung. Primaco Akademika.
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan.
Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
Klitgaard, Robert. 2005.
Membasmi Korupsi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Ndraha, Taliziduhu. 2006.
Kybernologi : Sebuah Scientific Enterprise. Tangerang. Sirao Credentia Center.
Saidi, Anas. dkk. 2006.
Pemberantasan Korupsi dan Pemerintahan yang Bersih. Jakarta. LIPI Press.
Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir. Bandung. PT. Refrika Aditama.
Syafiie, Inu
Kencana. 2002. Sistem Pemerintahan
Indonesia (Edisi Revisi). Rineka Cipta, Jakarta.
http://www.kompas.com.,
diakses tanggal 17 Maret 2011
http://www.vivanews.com.,
diakses tanggal 18 Maret 2011