Kamis, 05 Januari 2012

Apakah Korupsi Melanggar Etika ?

APAKAH KORUPSI MELANGGAR ETIKA ?



A. Pembuka
Apakah korupsi melanggar etika?, ya, iyalah... anak kecil aja tau... . Tapi bagaimana penjelasan secara teorinya?. Untuk menjawab hal tersebut, walaupun sangat terbatas berikut saya coba menjawabnya berdasarkan pemikiran-pemikiran para ahli. Dalam hal ini, kasus korupsi anggota DPR RI sebagai acuan pembandingnya.
Individu yang sedang mengenggam kekuasaan (sebagai anggota DPR RI), bukanlah individu yang semuanya dikaruniai kualitas moral yang lebih tinggi dari orang kebanyakan. Secara moral mereka sama saja dengan rakyat yang mereka wakili. Bahkan mereka jauh lebih rentan terhadap kesalahan dan kejatuhan. Mengapa?, karena mereka memiliki kekuasaan, yang dalam dirinya selalu mengandung kecenderungan untuk disalahgunakan.
 Realitas sekarang ini bahwa anggota DPR RI cenderung dalam melaksanakan fungsi-fungsinya lebih memperlihatkan pertarungan kekuatan dan kepentingan tanpa memperhatikan yang idealnya, dan tidak tunduk kepada apa yang seharusnya, sehingga yang terjadi mengabaikan apa yang sepatutnya dilakukan. Sementara itu, ditengah-tengah kehidupan kita terjadi pertarungan kepentingan pribadi dan kelompok antar para elite politik (anggota DPR RI). Selain itu, money politic yang dilakukan oleh sebagian para politisi dalam meraih jabatan sebagai anggota DPR RI dipertonton dengan mencolok tanpa merasa malu dan bersalah, sehingga menampakkan sebagian para anggota DPR RI tidak tahu lagi membedakan antara yang halal dan haram dan antara yang benar dan salah (ingat hanya sebagian anggota DPR RI yang demikian).
Kemudian, keadaan ini diperparah oleh kasus-kasus korupsi yang belakangan membawa para anggota DPR RI ke jeruji-jeruji penjara. Harapan masyarakat setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru masalah Korupsi Kolusi Nepotisme akan hilang, tetapi kenyataannya justru sebaliknya korupsi semakin hari semakin meningkat, sehingga etika dikalangan anggota DPR RI yang kenyataannya menjadi pemimpin formal bangsa ini cenderung semakin terpuruk. Serta tampaknya sebagian anggota DPR RI tidak lagi mampu membedakan antara wewenang mereka dan bukan, antara kebijakan dan tindakan yang benar dan yang salah.
Terkait dengan hal itu, fakta tergambar dengan sangat jelas dan secara kasatmata dilihat oleh publik sebagai kenyataan perilaku yang tidak saja tercela tetapi juga melanggar hukum. Fakta tersebut terlihat dari beberapa kasus yang menimpa anggota DPR RI, antara lain :
1.    Bulyan Royan (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), tertangkap tangan oleh KPK terkait kasus suap. Bulyan Royan tertangkap tangan di Plaza Senayan Jakarta, dalam kasus penyimpangan penggunaan anggaran dari Departemen Perhubungan (http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011).
2.   Al Amin Nasution (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), tertangkap tangan oleh KPK terkait dengan kasus alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau (http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011).
3.    Sarjan Tahir (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), ditangkap terkait kasus pengalihan fungsi hutan bakau menjadi pelabuhan di Banyuasin, Sumatera Selatan (http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011).
4.   Saleh Djasit (anggota DPR RI Masa Bakti 2004-2009), terkait kasus saat menjabat sebagai gubernur Riau (http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011).
5.  Kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, KPK menahan 19 politisi (mantan/anggota DPR RI) yaitu Ni Luh Mariani Tirtasari, Engelina Pattiasina, Paskah Suzetta, Soetanto Pranoto, Poltak Sitorus, Sofyan Usman, HM Danial Tanjung, Matheos Pormes, Achmad Hafiz Zawawi, Martin Bria Seran, M Iqbal, Soewarno, Baharudin Aritonang, TM Nurliff, Asep Ruchimat Sudjana, Reza kamarullah, Panda Nababan, Agus Condro, dan Max Moein (http://www.vivanews.com., diakses tanggal 18 Maret 2011).

 B.  Teori

1. Etika
Etika, etik, atau ethic berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti character (Inggris), watak atau sifat, dan adat kebiasaan. Ethos merupakan suatu studi yang sistematik tentang hakekat konsep nilai-nilai baik, buruk, apa yang seharusnya, yang benar atau yang salah, dan prinsip-prinsip umum yang dapat memberikan alasan tertentu dalam penggunaan penilaian terhadap sesuatu hal (Garna, 2001).
Selain itu, ethos juga disebut filsafat moral, yang berasal dari bahasa Latin mos, mores, artinya cara hidup, adat istiadat atau istiadat (Garna, 2001). Selanjutnya menurut Suryaningrat (dalam Garna, 2001) bahwa dalam bahasa Indonesia kata etika relatif jarang digunakan, untuk arti yang serupa meliputi etika, biasanya kata yang dipakai adalah susila, moral, akhlak, sopan santun, dan tata karma, yang kemudian dalam pemakaiannya dapat memiliki tekanan pengertian tertentu yang tergantung pada lingkupnya.
Terkait dengan hal tersebut, maka menurut Garna (2001) bahwa :
Etika menjiwai dan memberi pedoman dalam pergaulan hidup, serta mengandung sejumlah penilaian tentang perbuatan manusia, yang menurut ungkapan itu maka etika menjadi ilmu tentang azas moral, akhlak, sopan santun, budi pekerti, dan tata karma. Ajaran, sebagai apa yang dikemukakan, etiket adalah anjuran tentang baik buruknya perbuatan; dan moral adalah ajaran tentang baik buruknya perbuatan, kelakuan dan kewajiban manusia, sedangkan susila berarti sopan, beradab, baik budi pekerti. Kesusilaan ialah pengetahuan tentang adab; dan tata karma ialah aturan tentang sopan santun atau hormat, yang dalam lingkup ini etika dapat berarti adat istiadat (custom).

Senada dengan pendapat diatas, maka menurut Vos (dalam Garna, 2001) etika adalah ilmu tentang kesusilaan atau moral. Moral (mos, mores) berarti kaidah, aturan, atau norma, yang dikaitkan dengan etika maka etika berarti pengetahuan tentang norma dari perbuatan dan tingkah laku manusia yang berhubungan dengan baik dan tidak baik.
Kemudian, menurut Garna (2001) moral adalah berbagai hal yang mendorong manusia melakukan tindakan yang baik sebagai suatu kewajiban atau norma. Apabila demikian maka moral itu juga dapat bermakna atau berfungsi sebagai sarana untuk mengukur benar atau tidak benarnya tingkah laku serta tindakan manusia.
Selanjutnya, moralitas menurut Garna (2001) digunakan untuk menentukan sampai sejauh mana seseorang itu mempunyai dorongan melaksanakan tindakannya sesuai dengan prinsip etika dan moral. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki moralitas, namun tingkat moralitas masing-masing manusia berbeda, perbedaannya terletak pada kuat tidaknya dorongan setiap manusia dalam mencari kebenaran dan kebaikan, karena pada hakekatnya masing-masing manusia selalu mencari kebenaran dan kebaikan.
Selain itu, Garna (2001) juga mengungkapkan bahwa istilah etika memiliki makna yang lebih mendalam dari kata moral, apabila kata moral menyatakan tindakan atau perbuatan lahirian seseorang, maka etika bukan hanya menyangkut tentang perbuatan lahirian saja, tetapi mencakup kaidah dan motif perbuatan seseorang yang lebih dalam dari apa yang tampak.
Terkait dengan hal tersebut, Ndraha (2006) mengungkapkan bahwa disamping etika dan moral terdapat konsep lain yaitu etiket. Menurut Nugroho (dalam Ndraha, 2006) bahwa etiket hanya melihat perilaku luar manusia, perilaku formal yang disepakati dalam kondisi-kondisi atau situasi khusus, berbeda dengan etika yang lebih mengamati ruang batiniah, yang mungkin berbeda dengan apa yang ada diluar.
Oleh karena itu, menurut Ndraha (2006) :
Perilaku luar manusia itu terdapat fenomena lain yang kualitasnya sebagai berikut : (1) bersumber dari kesadaran (2) oleh sebab itu bersifat universal (3) kesadaran itu menunjukkan mana yang baik, benar, utama, patut, dan berguna, dan mana yang sebaliknya (4) tertanam kuat-kuat secara sadar di dalam jiwa (5) digunakan secara konsisten (6) sanksinya jika dilanggar datang dari yang ditanggung secara sukarela oleh diri sendiri. Jika sumber normanya yang sedemikian itu disebut kesadaran etik, dan norma itu sendiri disebut etika, maka ada etika sebagai norma (norma etik) dan ada etika sebagai subBOK Filsafat.

Dengan demikian, menurut Ndraha (2006) bahwa :
Kesadaran etik melahirkan pertimbangan etik. Berdasarkan pertimbangan etik diambil keputusan etik. Keputusan etik disusul dengan tindakan etik yang terlihat melalui perilaku etik. Perilaku etik itulah kemudian yang dapat diamati dan diukur. Kesadaran etik, pertimbangan etik, dan keputusan etik sulit diamati, karena terjadi di dalam diri yang bersangkutan. Tetapi tindakan etik, yang terlihat melalui perilaku etik bisa diukur menurut tingkat keetikan atau etikalitas, karena terjadi dalam hubungan antar warga masyarakat, dapat diamati dan direkam.




Selanjutnya, bagaimanakah perintah atau norma susila itu dapat mengikat kelakuan, dan dari manakah kekuatan yang menyebabkan norma tersebut mengikat, serta mengapakah dilarang melanggar aturan atau norma susila itu?. Maka menurut Suryaningrat (dalam Garna, 2001) ada enam kategori dari berbagai aliran filsafat atau pandangan etika yang menyangkut tentang sesuatu yang baik sekaligus jawaban atas pertanyaan tersebut, antara lain :
1.  Etika teleologisme, bahwa sesuatu yang dipandang baik adalah sesuatu yang sesuai dengan kehendak Tuhan, demikian sebaliknya.
2.  Etika hedonistik, bahwa yang dianggap baik itu ialah perbutan yang dapat mendatangkan kesenangan, kenikmatan atau kepuasaan rasa.
3.      Etika eudaemonisme, bahwa yang dianggap baik ialah yang mendatangkan kebahagiaan.
4.   Etika utilistik, bahwa tolok ukur perbuatan baik adalah menurut guna, tidak peduli bagaimana menurut umum, yang penting berguna bagi yang melakukannya. Tolok ukurnya berlaku hanya untuk seseorang saja (individual), dan manakala berlaku bagi suatu masyarakat maka disebut sosial.
5.    Etika vitalistik, bahwa perbuatan baik itu tergantung oleh seberapa kuat pemilik dari kekuasaan atau kekuatan, karena itu orang atau kelompok yang baik adalah orang atau kelompok yang terkuat.
6.    Etika naturalistik, bahwa perbuatan baik itu adalah ungkapan dari proses dan wujud kesadaran manusia yang menghormati pada pribadi manusia sendiri. Tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai dengan derajat manusia dan kodrat kemanusiaannya.

Kemudian Shidarta (2006) menegaskan bahwa :
Dalam konteks etika anggota DPR berarti menyangkut tentang sistem nilai yang menjadi pegangan atau pedoman anggota DPR, mengenai apa yang tidak patut dilakukan selama menjalankan tugas sebagai anggota DPR. Nilai-nilai tersebut dirumuskan dalam suatu norma tertulis yang kemudian disebut Kode Etik, sehingga jelas kiranya apabila etika diartikan dalam dua hal yakni sebagai sistem nilai dan sebagai ilmu atau cabang filsafat.

Selain itu, dalam konteks etika politik dijelaskan oleh Ricoeur (dalam Haryatmoko, 2003) bahwa pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan yakni pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain..., kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Kemudian, Ricoeur (dalam Haryatmoko, 2003) juga menegaskan bahwa tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil.
Selanjutnya Haryatmoko (2003) menyimpulkan bahwa :
Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.


2. Kekuasaan dan Trias Politika
Keberadaan suatu kekuasaan dalam suatu negara tidak bisa dinafikan, melalui kekuasaan, seseorang bisa mempengaruhi orang lain untuk mencapai kepentingan bersama. Hal ini menurut Budiardjo (2009) dapat dilihat dari perumusan yang umumnya dikenal yakni kekuasaan adalah kemampuan seseorang pelaku untuk mempengaruhi perilaku seorang pelaku lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Dalam perumusan ini pelaku bisa berupa seorang, sekelompok orang, atau suatu kolektivitas.
Senada dengan pemikiran diatas juga diungkapkan oleh Laswell dan Kaplan (dalam Budiardjo, 2009) yaitu kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok orang lain ke arah tujuan dari pihak pertama.
Berkaitan dengan konsep kekuasaan diatas, dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter. Oleh karena untuk menghindari hal tersebut maka harus ada pemisahan kekuasaan negara. Sebagaimana konsep trias politika yang dikemukakan oleh Montesquieu (dalam Syafiie, 2002) yakni kekuasaan legislatif yaitu pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif (presiden) yaitu pelaksana undang-undang, kekuasaan yudikatif yaitu yang mengadili (badan peradilan).
Namun demikian, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia mengenai konsep trias politika diatas, maka menurut Budiardjo (2009) bahwa ketiga undang-undang dasar di Indonesia tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politika dianut, tetapi karena ketiga undang-undang dasar menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia mengatur trias politika dalam arti pembagian kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan.

3. Perwakilan
Lembaga perwakilan muncul karena asas demokrasi langsung tidak mungkin lagi dapat dijalankan, disebabkan bertambahnya penduduk, luasnya wilayah negara dan bertambah rumitnya urusan kenegaraan. Oleh karena itu, menurut Fatwa (2004) :
Perwakilan merupakan mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat. Dengan demikian, yang bekepentingan terhadap lembaga perwakilan ini adalah rakyat, karena rakyat merupakan pihak yang diwakili atau selaku pihak yang menyerahkan kekuasaan/mandat untuk mewakili opini, sikap, dan kepentingannya kepada lembaga perwakilan didalam proses politik dan pemerintahan.

Selain itu, menurut Crespo (dalam Feulner dan Solechah, 2008) prinsip perwakilan memiliki dua aspek utama, yakni :
Aspek pertama berarti bahwa parlemen harus mencerminkan kehendak rakyat seperti yang disuarakan selama pemilihan umum (pemilu) secara demokratis dan pilihan pemilih untuk wakil-wakil mereka dan partai politik. Aspek kedua yang merupakan perwakilan dari keanekaragaman sosial masyarakat dari segi jender, bahasa, agama, etnisitas, minoritas, atau
karakteristik politis yang signifikan lainnya.

Kemudian, menurut Feulner dan Solechah (2008) bahwa :
Anggota DPR selain wakil rakyat juga merupakan representasi dari Partai Politik yang menghantarkannya. Mendengar, menyalurkan, maupun memperjuangkan aspirasi rakyat sejatinya merupakan bagian dari kewajiban anggota DPR yang juga kader partai politik dalam rangka menjalankan fungsi maupun tanggung-jawabnya.

Peran utama dari lembaga perwakilan adalah sebagai badan pembuat hukum, dan sebagai himpunan wakil rakyat. Selain itu, peran lainnya seperti pengawasan dan sosialisasi terjadi melalui pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga ini. Diberbagai negara terdapat perbedaan dalam merumuskan fungsi badan perwakilan. Namun demikian, ada persamaan hakekat tentang fungsi lembaga perwakilan antar negara, maka secara keseluruhan menurut Sanit (1985) fungsi badan perwakilan ialah perundang-undangan, keuangan, pengawasan, pemilihan pejabat, dan internasional.

4. Korupsi
Kata Latin corruptus, (corrupt) menimbulkan serangkaian gambaran kejahatan; kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan. Ada nada moral pada kata tersebut (Klitgaard, 2005).
Sementara itu, salah satu definisi korupsi menurut kamus lengkap Webster’s Third New International Dictionary (dalam Klitgaard, 2005) adalah ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas.
Selain itu, Klitgaard (2005)  mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.
Kemudian, Philip (dalam Saidi, dkk, 2006) menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga pengertian luas yang dapat digunakan untuk berbagai pembahasan tentang korupsi, yaitu :
Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publik (public office-centered corruption), yang didefinisikan tindakan pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Kedua, pengertian korupsi yang dikaitkan dampaknya dengan kepentingan umum (public interest-centered). Jenis korupsi ini bisa terjadi jika pemegang kekuasaan atau pejabat publik, yang menerima imbalan tertentu, sehingga merusak kepentingan publik. Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) dengan menggunakan teori pilihan publik, sosial dan ekonomi di dalam kerangka analisa politik. Dalam konteks ini korupsi dianggap “lembaga” ekstra legal yang digunakan individu atau kelompok untuk mendapatkan pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi.

Atas dasar ketiga pengertian korupsi  diatas, maka Leiken (dalam Saidi, dkk, 2006) merumuskan pengertian korupsi, yakni korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik untuk mendapatkan keuntungan (material) pribadi atau kemanfaatan politik.
Sedangkan tindak pidana korupsi menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain itu, tindak pidana korupsi menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kemudian dalam Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa.

Selanjutnya, Pope (dalam Saidi, dkk, 2006) menegaskan bahwa :

Korupsi dapat terjadi jika ada kesempatan dan keinginan dalam waktu bersamaan. Kesempatan (structural) dan keinginan (cultural) sangat memegang penjelasan kunci bagaimana korupsi itu bisa terjadi. Jika masalah peluang lebih berkaitan dengan ada-tidaknya kontrol, maka masalah keinginan lebih berkaitan dengan integritas moralitas yang dimiilki aktor. Keduanya, tidak bisa saling menafikan. Jika ada kesempatan tetapi tidak ada keinginan, maka korupsi tidak akan terjadi. Sebaliknya, jika ada keinginan tetapi tidak ada kesempatan maka korupsi juga tidak akan terjadi.

Sedangkan tipologi korupsi menurut Alatas (dalam Saidi, dkk, 2006) ialah :
1.   Korupsi transaktif yaitu korupsi yang terjadi dalam bentuk suap antara pemberi dan penerima dalam bentuk saling menguntungkan (simbiose mutualistik).
2.   Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang terjadi akibat pungutan paksa dari pejabat atas jasa yang diberikan, sedangkan pihak luar terpaksa harus memberi karena terpaksa.
3.  Korupsi invensif yaitu pemberian hadiah atau jasa sebagai upaya investasi guna memperoleh kemudahan di masa yang akan datang.
4.    Korupsi nepotistik yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan pada kantor publik maupun  pemberian proyek-proyek bagi kerabat dekat.
5.  Korupsi otogentik  yaitu korupsi yang terjadi jika seorang penjabat menjual informasi rahasia kepada para peserta tender dengan imbalan tertentu.
6.  Korupsi suportif yaitu korupsi yang dilakukan secara jamaah dalam satu bagian dengan tujuan untuk melindungi dan mempertahankan praktik korupsi yang dilakukan secara kolektif.

C.  Apakah Korupsi Melanggar Etika
 Dalam konteks teori kekuasaan, dikatakan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok orang lain ke arah tujuan dari pihak pertama (Laswell dan Kaplan dalam Budiardjo, 2009). Dalam hal ini, ditinjau dari tujuan kekuasaan anggota DPR RI hakekatnya adalah untuk mencapai tujuan negara Republik Indonesia yaitu untuk menyelenggarakan kesejahteraan dan kecerdasan rakyat Indonesia.
 Oleh karena anggota DPR RI adalah wakil dari rakyat dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, maka teori kekuasaan diatas bersesuaian dengan teori perwakilan dimana menurut Fatwa (2004) bahwa :
Perwakilan merupakan mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat. Dengan demikian, yang bekepentingan terhadap lembaga perwakilan ini adalah rakyat, karena rakyat merupakan pihak yang diwakili atau selaku pihak yang menyerahkan kekuasaan/mandat untuk mewakili opini, sikap, dan kepentingannya kepada lembaga perwakilan didalam proses politik dan pemerintahan.

Selain itu, anggota DPR RI adalah juga sebagai politikus, maka menurut konsep etika politik yang dijelaskan oleh Haryatmoko (2003) bahwa politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya, serta memiliki keutamaan-keutamaan moral.
Terkait dengan etika, maka etika (ethos) merupakan hakekat konsep nilai-nilai baik, buruk, apa yang seharusnya, yang benar atau yang salah, dan prinsip-prinsip umum yang dapat memberikan alasan tertentu dalam penggunaan penilaian terhadap sesuatu hal. Dengan mengambil contoh istilah perikemanusiaan, maka perikemanusiaan merupakan merupakan batas antara ada dan tidak ada perikemanusiaan, dan batas tersebut disebut ethos. Kata asal etika itu berarti pagar untuk membatasi gerak ternak agar supaya ternak tidak berkeliaran, dan tetap berada dalam lingkungan pagar tersebut. Lebih lanjut, ethos berarti batas, atau membatasi gerakan dan perbuatan, dan karena yang mampu melakukan perbuatan itu adalah manusia, maka ethos dimaksudkan sebagai batas perbuatan manusia. Dengan demikian, perbuatan yang baik adalah perbuatan yang boleh dilakukan, atau perbuatan yang seharusnya, ataupun perbuatan yang sebaiknya dilakukan, yang berada dalam lingkungan batas tersebut. Jadi perbuatan seperti itu yang digolongkan sebagai perbuatan yang baik, perbuatan yang etik karena dilakukan dalam ethos (Suryaningrat dalam Garna, 2001).
Sementara itu, apakah korupsi merupakan perbuatan yang baik?. Korupsi ditinjau dari asal katanya yakni corruptus, (corrupt) adalah perbuatan yang menimbulkan serangkaian gambaran kejahatan; kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan (Klitgaard, 2005). Kemudian, definisi korupsi adalah sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi (Klitgaard, 2005).
Selain itu tindakan korupsi adalah pertama, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Kedua, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan, dan kaitan antara berbagai teori-teori diatas, serta peraturan perundangan yang ada, maka jelas kiranya bahwa KORUPSI (dengan mengacu pada kasus korupsi anggota DPR RI) ADALAH PERBUATAN atau TINDAKAN YANG MELANGGAR ETIKA.
 Wassalam .... 


REFERENSI :

Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Fatwa, A.M. 2004. Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.

Frank Feulner, dan Solechah. 2008. Peran Perwakilan Parlemen. Jakarta. Sekretariat Jenderal DPR RI dan UNDP.

Garnas, K. Judistira. 2001. Filsafat dan Etika Pemerintahan. Bandung. Primaco Akademika.

Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

Klitgaard, Robert. 2005. Membasmi Korupsi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Ndraha, Taliziduhu. 2006. Kybernologi : Sebuah Scientific Enterprise. Tangerang. Sirao Credentia Center.

Saidi, Anas. dkk. 2006. Pemberantasan Korupsi dan Pemerintahan yang Bersih. Jakarta. LIPI Press.

Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir. Bandung. PT. Refrika Aditama.

Syafiie, Inu Kencana. 2002. Sistem Pemerintahan Indonesia (Edisi Revisi). Rineka Cipta, Jakarta.

http://www.kompas.com., diakses tanggal 17 Maret 2011
http://www.vivanews.com., diakses tanggal 18 Maret 2011

Senin, 02 Januari 2012

Budaya Politik

BUDAYA POLITIK



I. Pembuka
Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih luas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan, kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
Budaya politik juga merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Anderson (dalam Syarbaini, dkk, 2004) yang menyatakan bahwa kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa. Selain itu, budaya politik juga merupakan penopang tegaknya sistem politik lainnya seperti struktur dan fungsi politik.

II. Pengertian
Almond dan Powell (dalam Syarbaini, dkk, 2004) berpendapat bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologi dari sistem politik, yang mana budaya politik bersumber pada perilaku lahiriah dari manusia yang bersumber pada penalaran-penalaran yang sadar.
Kemudian menurut Easton (dalam Winarno, 2007) mengungkapkan bahwa budaya politik merujuk pada tindakan atau tingkah laku yang membentuk tujuan-tujuan umum maupun khusus mereka dan prosedur-prosedur yang mereka anggap harus diterapkan untuk meraih tujuan-tujuan tersebut. Selanjutnya Almond (dalam Faulks, 2010) merumuskan budaya politik sebagai pola-pola khusus orientasi tindakan politik yang mendasari semua sistem pemerintahan.
Beberapa definisi budaya politik menurut Syarbaini, dkk (2004) sebagai berikut :
a.   Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nila-nilai dan norma lain.
b.   Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
c.   Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
d.   Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat.


III. Model Budaya Politik
Berdasarkan orientasi-orientasi warga negara terhadap kehidupan politik atau budaya politiknya, menurut Almond (dalam Winarno, 2007) membedakan adanya tiga budaya politik. Pertama, budaya politik partisipan. Budaya ini hidup dalam masyarakat yang orang-orangnya melibatkan diri dalam kegiatan politik atau paling tidak dalam kegiatan pemberian suara, dan memporleh informasi yang cukup banyak tentang kehidupan politik.
Kedua, budaya politik subjek. Budaya politik ini ditemukan dalam masyarakat yang orang-orangya secara pasif patuh kepada pejabat-pejabat  pemerintahan dan Undang-Undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan. Ketiga, budaya politik parokial. Budaya ini hidup dalam masyarakat dimana orang-orangnya sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. Barangkali, mereka adalah orang-orang yang buta huruf atau masyarakat yang hidup didaerah terpencil yang sama sekali tidak sadar terhadap hak pilih dan pemerintahannya.
Berdasarkan penggolongan diatas Almond (dalam Winarno, 2007) merumuskan  tiga model budaya politik yaitu sistem demokratik industrial, sistem otoriter, dan sistem demokratis praindustrial.

a.   Sistem Demokratik Industrial
Dalam sistem ini, jumlah partisipan mencapai 40-60% dari penduduk dewasa, jumlah subjek kurang lebih dari 30%, sedangkan golongan parokial kira-kira 10%. Dalam sistem ini, terdapat cukup banyak aktivis politik untuk mnejamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi suara yang besar ataupun publik peminat yang kritis yang mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan dan pemerintahan, dan kelompok-kelompok pendesak yang mengusulkan kebijakan-kebijakan baru dan melindungi kepentingan khusus mereka.

b.   Sistem Otoriter
Dalam sistem ini, hanya sebagain industrial dan sebagian modern. Dalam sistem ini juga, meskipun tedapat organisasi politik, beberapa partisipan politik, menentang sistem itu dan berusaha mengubahnya melalui tindakan-tindakan persuasif atau mungkin protes yang lebih agresif. Beberapa kelompok masyarakat yang terutama berasal dari kelompok elite seperti tuan tanah, tokoh agama, ataupun pengusaha terlibat aktif dalam mendiskusikan pemerintahan serta terlibat aktif dalam kegiatan lobbying, tetapi sebagian besar rakyat hanya menjadi subjek pasif.

c.   Sistem Demokratis Praindustrial
Dalam sistem ini, sebagian besar warganya hidup dipedesaan dan buta huruf, hanya sedikit sekali partisipan politik terutama berasal dari kalangan pengusaha, mahasiswa, dan tuan tanah.


IV. Budaya Politik Indonesia
Sebagaimana uraian mengenai model budaya politik diatas, menurut Winarno (2007) dalam konteks Indonesia agak sulit dibedakan secara tegas model budaya politiknya, mengingat struktur sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang. Pada satu sisi, terdapat warga masyarakat yang telah termodernisasikan dengan baik, menjadi partisipan aktif dalam sistem politik dengan terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam mempengaruhi kehidupan politik. Sementara pada sisi yang lain terdapat masyarakat yang merasa tidak mempunyai kemampuan apapun untuk terlibat dalam kehidupan politik.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia sebenarnya terfragmentasi ke dalam budaya politik yang berbeda-beda. Dikota-kota besar di mana tingkat pendidikan masyarakatnya telah cukup baik barangkali lebih didominasi oleh budaya politik partisipan, sedangkan di daerah-daerah pedesaan dan pelosok-pelosok pegunungan budaya politik subjeklah yang lebih dominan.
Oleh karena itu, menurut Winarno (2007) budaya politik Indonesia tampaknya kombinasi antara ketiganyalah yang paling tepat, yakni parochial-subject culture, subject-participant culture, parochial-participant culture. Dalam hal ini, budaya politik Indonesia bergerak di antara subject-participant culture dan parochial- participant culture.
Subject-participant culture ditandai oleh menguatnya partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan politik terhadap input-input politik, sementara pada waktu yang bersamaan berkembang rasa ketidakmampuan masyarakat untuk mengubah kebijakan. Fenomena ini dapat ditemukan tidak hanya didaerah pedesaan, tetapi juga didaerah perkotaan dimana masyarakat miskin dan termarginalkan  tumbuh subur.  Bahkan, kebijakan pembangunan yang dilaksanakan oleh para penguasa politik yang berorientasi pada kebijakan neoliberal mendorong kelompok-kelompok marginal ini semakin besar.
Parochial-participant culture ditandai oleh menguatnya wacana kedaerahan pasca diterapkannya otonomi daerah. Dalam hal ini, terdapat tekanan dan desakan yang kuat dibeberapa daerah agar pemimpin-pemimpin lokal dipilih dari putra-putra daerah. Tentunya, gejala seperti ini akan merugikan sistem politik secara keseluruhan  karena cenderung menimbulkan konflik horizontal dan menghambat pembangunan rasa kebangsaan (national building).
Mestinya, selama wilayah-wilayah atau daerah-daerah tersebut masih berada dalam lingkup teritorial dan dengan demikian masuk pula ke dalam wilayah administratif politik Indonesia maka setiap individu berhak menjadi pegawai atau pejabat dimanapun wilayah tersebut berada. Pemdedaan putra lokal dan bukan putra lokal menjadi tidak relevan. Sebaliknya, ukuran terletak pada kapabilitas, profesionalitas, dan integritas orang tersebut untuk menjadi pemimpin. Dalam sistem politik demokrasi, layak tidaknya seseorang untuk menjadi pemimpin adalah kemampuannya dan bukan pada asal-usul orang tersebut.

V. Simpulan
Setiap sistem politik mempunyai tujuan-tujuan bersama-sama yang ingin diraihnya. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak cukup dengan hanya bekerjanya struktur dan fungsi politik saja, tetapi harus pula diikuti dengan sitem politik lainnya yakni budaya politik. Ini karena, bagaimanapun, bekerjanya struktur dan fungsi politik akan sangat ditentukan oleh budaya politik yang melingkupinya. Dengan demikian, budaya politik mempunyai peran yang sangat penting dalam sistem politik bagi setiap sistem pemerintahan manapun.



DAFTAR PUSTAKA


Faulks, Keith. 2010. Sosiologi Politik Pengantar Kritis. Nusamedia, Bandung.

Syarbaini, Syahrial dkk. 2004. Sosiologi dan Politik. Ghalia Indonesia, Bogor.

Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. PT Buku Kita, Jakarta.

Minggu, 01 Januari 2012

Mapping Literatur

MAPPING LITERATUR
                         


NO
RINGKASAN KONSEP / TEORI
NAMA PENGARANG
TAHUN TERBIT
JUDUL BUKU
PENERBIT
KOTA TERBIT
HAL

I. KONSEP PEMERINTAHAN






1.
Disiplin ilmu yang tertua adalah ilmu pemerintahan, karena sudah dipelajari sejak sebelum masehi oleh para filosof, yaitu Plato dan Aristoteles. Walaupun sering disebut-sebut bahwa ilmu yang tertua adalah filsafat, tetapi pada prinsipnya yang dibicarakan pertama adalah filsafat pemerintahan (Suryaningrat dalam Syafiie, 1992:16)
Syafiie, Inu Kencana
1992
Pengantar Ilmu Pemerintahan
PT. Eresco
Bandung
16
2.
Metodologi Ilmu Pemerintahan memandang gejala pemerintahan dari bawah, dari pihak rakyat dan kebutuhannya yang paling mendasar, bukan lagi semata-mata pangan – sandang – papan, melainkan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan produk-produk jasa public serta layanan civil.
Ndraha, Taliziduhu
1997
Metodologi Ilmu Pemerintahan
PT. Rineka Cipta
Jakarta
73
3.
Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang secara otonom mempelajarai bekerjanya struktur-struktur dan proses-proses pemerintahan umum, baik internal maupun eksternal          (U. Rosenthal dalam Ndraha, 2005:4)
Ndraha, Taliziduhu
2005
Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan
PT. Rineka Cipta
Jakarta
4
4.
Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana menyeimbangkan pelaksanaan kepengurusan (eksekutif), pengaturan (legislatif), kepemimpinan dan koordinasi pemerintahan (baik pusat maupun daerah, maupun rakyat dengan pemerintahnya) dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan, secara baik dan benar.
Syafiie, Inu Kencana
2002
Sistem Pemerintahan Indonesia (Edisi Revisi)
PT. Rineka Cipta
Jakarta
15
5.
Konstruksi ilmu pemerintahan “baru” bermula pada manusia  dan berakhir pula pada manusia, berbeda dengan konstruksi ilmu pemerintahan (paradigma lama, ilmu untuk memerintah) yang bermula pada negara dan berakhir pada perintah. Konstruksi “baru” tersebut di beri nama Kybernologi.
Ndraha, Taliziduhu
2006
Kybernologi : Sebuah Scientific Enterprise
Sirao Credentia Center
Jakarta
7
6.
Menurut Ndraha (2003:7) Ilmu pemerintahan dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajaran bagaimana memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang akan jasa-publik dan layanan-civil, dalam hubungan pemerintahan, (sehingga dapat diterima) pada saat dibutuhkan oleh yang bersangkutan.
Ndraha, Taliziduhu
2003
Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) 1
PT Rineka Cipta
Jakarta
7
7.
Konstruksi ruang lingkup ilmu pemerintahan menurut Ndraha terdiri dari :
1.   Yang-diperintah
2.   Tuntutan yang-diperintah (jasa-publik dan layanan-civil)
3.   Pemerintah
4.   Kewenangan, kewajiban, dan tanggung jawab pemerintah
5.   Hubungan pemerintahan
6.   Pemerintah yang bagaimana yang dianggap mampu menggunakan kewenangan, menunaikan kewajiban, dan memenuhi tanggung jawabnya.
7.   Bagaimana membentuk pemerintah yang demikian itu
8.   Bagaimana pemerintah menggunakan kewenangan, menunaikan kewajiban, dan memenuhi tanggung jawabnya
9.   Bagaimana supaya kinerja pemerintahan sesuai dengan tuntutan yang diperintah dan perubahan zaman?
Ndraha, Taliziduhu
2003
Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) 1
PT Rineka Cipta
Jakarta
7
8.
Pemerintah pada dasarnya secara teoritis atau konsep menunjukkan adanya penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilakukan oleh institusi pemerintah dalam kebijakan dan pelayanan publik atau masyarakat dalam berbagai kehidupan dalam wilayah tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Supriatna, Tjahya
2010
Sistem Pemerintahan Desa
CV. Indra Prahasta
Bandung
18
9.
Sebagai badan yang penting (the important body) dalam rangka pemerintahannya, pemerintahn musti pula memperhatikan ketentraman dan ketertiban umum, tuntutan dan harapan, serta pendapat rakyat, kebutuhan dan kepentingan masyarakat, pengaruh-pengaruh lingkungan, pengaturan-pengaturan, komunikasi, peran serta seluruh lapisan masyarakat dan legitimasi (Soemandar dalam Syafiie, 1992:14)
Syafiie, Inu Kencana
1992
Pengantar Ilmu Pemerintahan
PT. Eresco
Bandung
14
10.
Pemerintah adalah organ yang berwenang memperoses pelayanan public dan berkewajiban memperoses pelayanan civil bagi setiap orang melalui hubungan pemerintahan, sehingga setiap anggota masyarakat yang bersangkutan menerimanya pada saat di perlukan sesuai dengan tuntutan (harapan) yang diperintah.
Ndraha, Taliziduhu
2003
Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) 1
PT Rineka Cipta
Jakarta
6
11.
Suatu pemerintahan dapat disebut demokratis apabila ia memberikan kesempatan konstitusional yang teratur bagi suatu persaingan damai untuk memperoleh kekuasaan untuk berbagai kelompok yang berbeda, tanpa menyisihkan bagian penting dari penduduk manapun dengan kekerasan.
Donald, Parulian.
1997
Menggugat Pemilu
Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta
2
12.
Menurut Taschereau dan Campos (dalam Thoha, 2003:63) tata kepemerintahan yang baik itu merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen, yakni pemerintah (government), rakyat (citizen) atau civil society, dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta.
Thoha, Miftah
2003
Birokrasi Politik di Indonesia
PT. Rajagrafindo Persada
Jakarta
63
13.
Sabda Nabi Muhammad SAW dalam hal pemerintahan :
Seseorang yang telah ditugaskan Allah memerintah rakyat, kalau dia tidak  memimpin rakyat dengan jujur, niscaya dia tidak memperoleh bau surga.
… musyawarahkanlah urusanmu itu di antara kamu dan jangan membuat keputusan dengan satu pendapat.
(dalam Syafiie, 2003:50)
Syafiie, Inu Kencana
2003
Ekologi Pemerintahan
PT. Perca
Jakarta
50
14.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dalam mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan.
Pasolong, Harbani
2008
Kepemimpinan Birokrasi
Alfabeta
Bandung
1
15.
Kepemimpinan (leadership) merupakan inti dari pada manajemen, karena kepemimpinan merupakan motor penggerak bagi sumber-sumber dan alat-alat manusia dan alat-alat lainnya dalam suatu organisasi
Hamim, Sufian dan Indra Muchlis Adnan.
2005
Organisasi dan Manajemen
Multi Grafindo
Pekanbaru
152

II. KONSEP PENDIDIKAN






16.
Menurut Ihsan (2005:5) pendidikan dapat diartikan sebagai :
1)   suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan;
2)   suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhannnya;
3)   suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikehendaki oleh masyarakat;
4)   suatu pembentukan kepribadian dan kemampuan anak dalam menuju kedewasaan.
Ihsan, Fuad
2005
Dasar-Dasar P
Pendidikan
Jakarta
5
17.
Tujuan akhir pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir pembentukan negara yang harus pula sama dengan sasaran utama pembuatan dan penyusunan hukum serta harus pula sama dengan tujuan utama konstitusi. Adapun tujuan negara yang harus sama dengan tujuan pendidikan dan harus sama dengan tujuan pembuatan hukum dan harus pula sama dengan tujuan konstitusi, ialah kehidupan yang baik dan yang berbahagia (eduaimonia). (Aristoteles dalam Rapar, 1988:80).
Rapar, J.H.
1988
Filsafat Politik Aristoteles
Rajawali Pers
Jakarta
80
18.
Hakikat pendidikan adalah proses memanusiakan anak manusia yaitu menyadari akan manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud di dalam budayanya.
Tilaar, H.A.R.
2005
Manifesto Pendidikan Nasional Tinjauan dari Persfektif  Postmodernis-me dan Studi Kultural
Buku Kompas
Jakarta
112
19.
Pengembangan dan pembinaan pendidikan oleh pemerintah di dasarkan pada dua alasan :
a.   meningkatkan kemajuan pribadi dan budaya individual dimana masyarakat wajib membantu pengembangan bakat/kemampuan dan kepekaannya
b.   menyediakan keahlian dan kecakapan bagi menunjang kekuatan ekonomi nasional, integritas politik dan kejayaan militer (Finer dalam Pamudji, 1994:29-30)
Pamudji, S
1994
Perbandingan Pemerintahan
Bumi Aksara
Jakarta
29-30
20.
Secara normatif, tujuan pendirian komite sekolah adalah sebagai berikut :
(1). Sebagai wadah dan penyalur aspirasi dan prakarsa masyarakat untuk melahirkan kebijakan operasional dan program.
(2). Untuk meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
(3). Untuk menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabilitas, dan demokrasi dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu.
Soewartoyo, dkk
2003
Persepsi Masyarakat Terhadap Desentralisasi Pendidikan Studi Kasus Kota Manado
Pustaka Sinaar Harapan dan LIPI
Jakarta
66
21.
Pendidikan, hemat saya, bukan sekedar mengajarkan atau mentransfer pengetahuan, atau semata mengembangkan aspek intelektual, melainkan juga untuk mengembangkan karakter, moral nilai-nilai, dan budaya peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan adalah membangun budaya, menbangun peradaban, membangun masa depan bangsa. Karena itu, untuk meningkatkan harkat dan martabat sebuah bangsa pada era global ini, tidak ada jalan lain kecuali dengan meningkatkan kualitas pendidikan.
Nandika, Dodi
2007
Pendidikan di Tengah Gelombang Perubahan
LP3ES
Jakarta
15
22.
Sekolah demokrastis adalah sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik demokratis itu terlaksana, seperti pelibatan masyarakat, (stake holder dan user sekolah) dalam membahas program-program sekolah/madrasah, dan prosedur pengambilan keputusan juga memerhatikan berbagai aspirasi publik,serta dapat dipertanggungjawabkan implementasinya kepada publik.
Rosyada, Dede
2007
Paradigma Pendidikan Demokratis
Kencana
Jakarta
17
23.
Menurut Tilaar (dalam Chan dan Sam, 2005:1) ada tiga alasan mengapa desentralisasi pendidikan harus dilakukan oleh bangsa Indonesia, yaitu : (a) pembangunan masyarakat demokratis; (b) pengembangan social capital; dan (c) peningkatan daya saing bangsa.
Chan, Sam M dan Sam, Tuti T
2005
Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah
PT Raja Grafindo Persada
Jakarta
1
24.
Komite sekolah merupakan badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan baik pada pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah, maupun jalur pendidikan luar sekolah.
Hasbullah
2006
Otonomi Pendidikan : Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaran Pendidikan
PT Raja Grafindo Persada
Jakarta
47
25.
Komite Sekolah berperan sebagai advisory agency (pemberi pertimbangan), supporting agency (pendukung kegiatan layanan pendidikan), controlling agency (pengontrol kegiatan layanan pendidikan), dan mediator.
Kustoro, Budi, dkk
2006
Studi Profil Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah
Balitbang Depdiknas

Jakarta
1

III.   KONSEP IMPLEMENTASI        KEBIJAKAN PEMERINTAH






26.
Implementasi adalah proses mentransformasi kan suatu rencana ke dalam praktik (Wijaya, B.R. dan Supardo, S. dalam Pasolong,2008:57)
Implementasi sebagai rangkuman dari berbagai kegiatan yang di dalamnya sumber daya manusia menggunakan sumber daya lain untuk mencapai sasaran strategi. (Hinggis dalam Pasolong, 2008:57)
Implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi program (Gordon dalam Pasolong, 2008:58)
Pasolong, Harbani
2008
Teori Administrasi Publik
Alfabeta
Bandung
57 dan 58
27.
Menurut E. Hugh Heclo, kebijakan adalah cara bertindak yang sengaja untuk menyelesaikan beberapa permasalahan.
Menurut Charles O. Jones kebijakan adalah suatu keputusan untuk mengakhiri atau menjawab pertanyaan yang diajukan kepada kita … terdiri dari tujuan, rencana, program, keputusan dan akibat.
Menurut Henz Eula dan Kenneth Previt yaitu merumuskan kebijakan sebagai keputusan yang tetap, ditandai dengan kelakuan yang berkesinambungan dan berulang-ulang pada mereka yang membuat kebijakan dan yang melaksanakan kebijakan itu.
(dalam Syafiie, 2007:85)
Syafiie, Inu Kencana
2007
Manajemen Pemerintah
PT. Perca
Jakarta
85
28.
Menurut Thomas R.Dye kebijakan pemerintah yaitu apa pun juga dipilih pemerintah, apakah mengerjakan sesuatu itu atau tidak mengerjakan (mendiamkan) sesuatu itu (whatever government choose to do or not to do) .
Menurut  R. C. Chandler dan J.C. Plano kebijakan pemerintah adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah publik.
Menurut A. Hoorgerwerf kebijakan pemerintah yaitu unsur penting dari politik, dapat diartikan sebagai  usaha mencapai tujuan-tujuan tertentu menurut urutan waktu tertentu.
(dalam Syafiie, 2007:86).
Syafiie, Inu Kencana
2007
Manajemen Pemerintah
PT. Perca
Jakarta
86
29.
Menurut Bridgenan dan Davis (dalam Suharto, 2008:5) menerangkan bahwa kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling bertautan, yakni sebagai tujuan (objective), sebagai pilihan tindakan yang legal atau sah secara hukum (authoritative choice), dan sebagai hipotesis (hypothesis).
Suharto, Edi
2008
Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik
Alfabeta
Bandung
5
30.
Kebijakan Publik dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) Kebijakan bersifat makro, yaitu kebijakan atau peraturan yang bersifat umum. (2) Kebijakan yang bersifat meso, yaitu kebijakan yang bersifat menengah atau memperjelas pelaksanaan, seperti kebijakan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Wali Kota. (3) Kebijakan yang bersifat mikro, yaitu kebijakan yang bersifat mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya, seperti kebijakan yang dikeluarkan oleh aparat publik dibawah Menteri, Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
(Nugroho dalam Pasolong, 2008:40)
Pasolong, Harbani
2008
Teori Administrasi Publik
Alfabeta
Bandung
40
31.
Kebijakan pemerintahan menurut Ndraha (2003:498) dapat didefinisikan sebagai pilihan terbaik usaha untuk memproses nilai pemerintahan yang bersumber pada kearifan pemerintahan dan mengikat secara formal, etik, dan moral, diarahkan guna menepati pertanggungjawaban aktor pemerintahan di dalam lingkungan pemerintahan.
Ndraha, Taliziduhu
2003
Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) 2
PT Rineka Cipta
Jakarta
498
32.
Ada tiga faktor umum yang mempengaruhi keberhasilan implementasi yaitu (1) logika yang digunakan oleh suatu kebijakan , yaitu sampai berapa benar teori yang menjadi landasan kebijakan atau seberapa jauh hubungan logis antara kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan; (2) hakekat kerjasama yang dibutuhkan, yaitu apakah semua pihak yang terlibat dalam kerjasama telah merupakan suatu assembling produktif dan (3) ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, komitmen untuk mengelola pelaksanaannya. (Weimer, D.L. Vining A.R dalam Pasolong, 2008, 59)
Pasolong, Harbani
2008
Teori Administrasi Publik
Alfabeta
Bandung
59
33.
Tanggung jawab utama manajer dalam implementasi kebijakan strategis :
1.   Membagi-bagi tugas utama dan urutan langkah-langkah yang akan diambil untuk melaksanakan kebijakan dan strategi dengan cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan/sasaran.
2.   Menentukan siapa yang bertanggung jawab untuk tugas-tugas khusus utama yang harus diselesaikan, langkah-langkah yang harus ditempuh dan keputusan yang harus diambil.
3.   Menetapkan struktur pokok organisasi tempat implementasi akan berlangsung, misalnya departemen fungsional atau divisi pokok yang di desentralisasikan.
4.   Menentukan sumber daya (fisik dan manusia) yang perlu untuk menerapkan kebijakan dan strategi dan menjamin tersedianya sumber daya itu bila diperlukan.
5.   Menenetapkan jenis-jenis prestasi yang diperlukan oleh satuan-satuan organisasi dan perorangan serta kapan kegiatan khusus harus diselesaikan.
6.   Menentukan motivasi pribadi dan sistem perangsang yang akan digunakan.
7.   Menganilisis saling hubungan utama antara orang-orang, satuan organisasi, dan kegiatan dalam satu-satuan yang memerlukan pengkordinasian dan menentukan sistem yang tepat untuk menjamin koordinasi yang tepat pula.
8.   Menjamin tingakt partisipasi yang tepat dalam perumusan dan operasi sistem dan proses implementasi.
9.   Menetapkan sistem informasi yang tepat untuk menjamin pengukuran yang tepat dari prestasi menurut standar, sehingga dapat diambil tindakan perbaikan, bila perlu.
10.  Mengadopsi program latihan untuk mengembangkan keterampilan teknis dan manajemen, yang diperlukan dalam implementasi.
11.  Menjamin bahwa kepemimpinan manajemen efektif dalam memotivasi dan membimbing organisasi dalam penerapan kebijakan dan strategi secara sedemikian, sehingga tercapai tujuan-tujuan organisasi dengan cara yang paling efektif dan efisien. (Steiner, G.A. dan Miner, J.B., 1997:220)
Steiner, G.A. dan Miner, J.B.

Alih Bahasa :
Ticoalu dan Agus Dharma
1997
Kebijakan dan Strategi Manajemen, Edisi Kedua
Penerbit Erlangga
Jakarta
220
34.
Sistem implementasi yang dianggap akan mampu menyelesaikan berbagai masalah dalam pelaksanaannya, yakni berupa suatu proses integral dari tiga komponen kegiatan utama, yaitu perencanaan integral dan sistem pengendalian; kepemimpinan, motivasi, dan sistem komunikasi; dan manajemen sumber daya manusia dan kultur organisasi. (Higgins dalam Salusu, 2003:435)
Salusu. J
2003
Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit
PT. Grasindo
Jakarta
435
35.
Suksesnya implementasi dapat dilihat dari perspektif lain, yaitu dengan mengukur tingkat kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan, dengan petunjuk-petunjuk khusus dari birokrat.(Salusu, 2003:437-438)
Salusu. J
2003
Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit
PT. Grasindo
Jakarta
437-438
36.
Untuk mengukur pengaruh implementasi kebijakan publik dapat digunakan 4 (empat) variable yaitu : Communication, Resources, Disposition and Bureacratic (Komunikasi, Sumber daya, Sikap dan Struktur Birokrasi (Edwar III dalam Effendy, 2009:86)
Effendy, Khasan
2009
Pengembangan Organisasi Moratorium dan Morbitarium Pemekaran
CV. Indra Prahasta
Bandung
86
37.
Menurut Jones (1991:304) ada tiga aktivitas utama yang paling penting dalam implementasi kebijakan yaitu :
1. Organisasi
2. Penafsiran
3. Penerapan
Jones, C.O.

Editor :
Nashir Budiman
1991
Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy)
CV. Rajawali
Jakarta.
304
38.
Menurut Meter dan Horn (dalam Tangkilisan, Tanpa Tahun : 14) merumuskan secara sederhana, bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses implementasi adalah faktor dukungan sumber daya (resources), karakteristik pelaksana kebijakan, daya tanggap dan kemampuan untuk menyesuaikan diri.
Tangkilisan, Hessel Nogi S.
Tanpa Tahun
Kebijakan dan Manajemen Otonomi Daerah
Lukman Offset
Yogyakarta
14

IV. METODE PENELITIAN






39.
Ditinjau dari sudut filsafat, metodologi penelitian merupakan epistemologi penelitian. Yaitu yang menyangkut bagaimana kita mengadakan penelitian.
Usman, Husaini dan Akbar, Purnomo Setiady
2001
Metodologi Penelitian Sosial
PT. Bumi Aksara
Jakarta
42
40.
Penelitan kualitatif adalah penelitian yang menjelaskan dan menganalisis perilaku manusia secara individual dan kelompok, prinsip atau kepercayaan, pemahaman atau pemikiran dan persepsi atau tanggapan.
Effendy, Khasan
2010
Memadukan Metode Kuantitatif dan Kualitatif
CV. Indra Prahasta
Bandung
117
41.
Hakekat kualitatif adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya (Nasution, S dalam Sudjarwo, 2001:45)
Sudjarwo
2001
Metodologi Penelitian Sosial
CV. Mandar Maju
Bandung
45
42.
Alat pengumpul data atau instrumen penelitian dalam metode kualitatif ialah si peneliti sendiri. Jadi peneliti merupakan key instrument, dalam mengumpulkan data si peneliti harus terjun sendiri ke lapangan secara aktif. Teknik pengumpulan data yang sering digunakan ialah observasi partisipasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik angket tidak digunakan dalam pengumpulan data.
Usman, Husaini dan Akbar, Purnomo Setiady
2001
Metodologi Penelitian Sosial
PT. Bumi Aksara
Jakarta
81
43.
Penelitian deskriftif bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada.
Mardalis.
1990
Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal
Bumi Aksara
 Jakarta
26
44.
Metode deskriftif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. (Nawawi, Hadari, 1995:63)
Nawawi, Hadari
1995
Metode Penelitian Bidang Sosial
Gadjah Mada University Press
Yogyakarta
63
45.
Menurut Usman dan Purnomo Setiady Akbar (2009:130) penelitain deskriptif kualitatif diuraikan dengan kata-katamenurut pendapat responden, apa adanya sesuai dengan pertanyaan penelitiannya, kemudian dianlisis pula dengan kata-kata apa yang melatarbelakangi responden berperilaku (berpikir, berperasaan, dan bertindak) seperti itu tidak seperti lainnya, direduksi, ditriangulasi, disimpulkan (diberi maknaoleh peneliti), dan diverifikasi (dikonsultasikan kembali kepada responden dan  teman sejawat.
Usman, Husaini dan Akbar, Purnomo Setiady
2009
Metodologi Penelitian Sosial, Edisi Kedua
PT. Bumi Aksara
Jakarta
130