Senin, 02 Januari 2012

Budaya Politik

BUDAYA POLITIK



I. Pembuka
Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih luas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan, kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
Budaya politik juga merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Anderson (dalam Syarbaini, dkk, 2004) yang menyatakan bahwa kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa. Selain itu, budaya politik juga merupakan penopang tegaknya sistem politik lainnya seperti struktur dan fungsi politik.

II. Pengertian
Almond dan Powell (dalam Syarbaini, dkk, 2004) berpendapat bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologi dari sistem politik, yang mana budaya politik bersumber pada perilaku lahiriah dari manusia yang bersumber pada penalaran-penalaran yang sadar.
Kemudian menurut Easton (dalam Winarno, 2007) mengungkapkan bahwa budaya politik merujuk pada tindakan atau tingkah laku yang membentuk tujuan-tujuan umum maupun khusus mereka dan prosedur-prosedur yang mereka anggap harus diterapkan untuk meraih tujuan-tujuan tersebut. Selanjutnya Almond (dalam Faulks, 2010) merumuskan budaya politik sebagai pola-pola khusus orientasi tindakan politik yang mendasari semua sistem pemerintahan.
Beberapa definisi budaya politik menurut Syarbaini, dkk (2004) sebagai berikut :
a.   Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nila-nilai dan norma lain.
b.   Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
c.   Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
d.   Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat.


III. Model Budaya Politik
Berdasarkan orientasi-orientasi warga negara terhadap kehidupan politik atau budaya politiknya, menurut Almond (dalam Winarno, 2007) membedakan adanya tiga budaya politik. Pertama, budaya politik partisipan. Budaya ini hidup dalam masyarakat yang orang-orangnya melibatkan diri dalam kegiatan politik atau paling tidak dalam kegiatan pemberian suara, dan memporleh informasi yang cukup banyak tentang kehidupan politik.
Kedua, budaya politik subjek. Budaya politik ini ditemukan dalam masyarakat yang orang-orangya secara pasif patuh kepada pejabat-pejabat  pemerintahan dan Undang-Undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan. Ketiga, budaya politik parokial. Budaya ini hidup dalam masyarakat dimana orang-orangnya sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. Barangkali, mereka adalah orang-orang yang buta huruf atau masyarakat yang hidup didaerah terpencil yang sama sekali tidak sadar terhadap hak pilih dan pemerintahannya.
Berdasarkan penggolongan diatas Almond (dalam Winarno, 2007) merumuskan  tiga model budaya politik yaitu sistem demokratik industrial, sistem otoriter, dan sistem demokratis praindustrial.

a.   Sistem Demokratik Industrial
Dalam sistem ini, jumlah partisipan mencapai 40-60% dari penduduk dewasa, jumlah subjek kurang lebih dari 30%, sedangkan golongan parokial kira-kira 10%. Dalam sistem ini, terdapat cukup banyak aktivis politik untuk mnejamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi suara yang besar ataupun publik peminat yang kritis yang mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan dan pemerintahan, dan kelompok-kelompok pendesak yang mengusulkan kebijakan-kebijakan baru dan melindungi kepentingan khusus mereka.

b.   Sistem Otoriter
Dalam sistem ini, hanya sebagain industrial dan sebagian modern. Dalam sistem ini juga, meskipun tedapat organisasi politik, beberapa partisipan politik, menentang sistem itu dan berusaha mengubahnya melalui tindakan-tindakan persuasif atau mungkin protes yang lebih agresif. Beberapa kelompok masyarakat yang terutama berasal dari kelompok elite seperti tuan tanah, tokoh agama, ataupun pengusaha terlibat aktif dalam mendiskusikan pemerintahan serta terlibat aktif dalam kegiatan lobbying, tetapi sebagian besar rakyat hanya menjadi subjek pasif.

c.   Sistem Demokratis Praindustrial
Dalam sistem ini, sebagian besar warganya hidup dipedesaan dan buta huruf, hanya sedikit sekali partisipan politik terutama berasal dari kalangan pengusaha, mahasiswa, dan tuan tanah.


IV. Budaya Politik Indonesia
Sebagaimana uraian mengenai model budaya politik diatas, menurut Winarno (2007) dalam konteks Indonesia agak sulit dibedakan secara tegas model budaya politiknya, mengingat struktur sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang. Pada satu sisi, terdapat warga masyarakat yang telah termodernisasikan dengan baik, menjadi partisipan aktif dalam sistem politik dengan terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam mempengaruhi kehidupan politik. Sementara pada sisi yang lain terdapat masyarakat yang merasa tidak mempunyai kemampuan apapun untuk terlibat dalam kehidupan politik.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia sebenarnya terfragmentasi ke dalam budaya politik yang berbeda-beda. Dikota-kota besar di mana tingkat pendidikan masyarakatnya telah cukup baik barangkali lebih didominasi oleh budaya politik partisipan, sedangkan di daerah-daerah pedesaan dan pelosok-pelosok pegunungan budaya politik subjeklah yang lebih dominan.
Oleh karena itu, menurut Winarno (2007) budaya politik Indonesia tampaknya kombinasi antara ketiganyalah yang paling tepat, yakni parochial-subject culture, subject-participant culture, parochial-participant culture. Dalam hal ini, budaya politik Indonesia bergerak di antara subject-participant culture dan parochial- participant culture.
Subject-participant culture ditandai oleh menguatnya partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan politik terhadap input-input politik, sementara pada waktu yang bersamaan berkembang rasa ketidakmampuan masyarakat untuk mengubah kebijakan. Fenomena ini dapat ditemukan tidak hanya didaerah pedesaan, tetapi juga didaerah perkotaan dimana masyarakat miskin dan termarginalkan  tumbuh subur.  Bahkan, kebijakan pembangunan yang dilaksanakan oleh para penguasa politik yang berorientasi pada kebijakan neoliberal mendorong kelompok-kelompok marginal ini semakin besar.
Parochial-participant culture ditandai oleh menguatnya wacana kedaerahan pasca diterapkannya otonomi daerah. Dalam hal ini, terdapat tekanan dan desakan yang kuat dibeberapa daerah agar pemimpin-pemimpin lokal dipilih dari putra-putra daerah. Tentunya, gejala seperti ini akan merugikan sistem politik secara keseluruhan  karena cenderung menimbulkan konflik horizontal dan menghambat pembangunan rasa kebangsaan (national building).
Mestinya, selama wilayah-wilayah atau daerah-daerah tersebut masih berada dalam lingkup teritorial dan dengan demikian masuk pula ke dalam wilayah administratif politik Indonesia maka setiap individu berhak menjadi pegawai atau pejabat dimanapun wilayah tersebut berada. Pemdedaan putra lokal dan bukan putra lokal menjadi tidak relevan. Sebaliknya, ukuran terletak pada kapabilitas, profesionalitas, dan integritas orang tersebut untuk menjadi pemimpin. Dalam sistem politik demokrasi, layak tidaknya seseorang untuk menjadi pemimpin adalah kemampuannya dan bukan pada asal-usul orang tersebut.

V. Simpulan
Setiap sistem politik mempunyai tujuan-tujuan bersama-sama yang ingin diraihnya. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak cukup dengan hanya bekerjanya struktur dan fungsi politik saja, tetapi harus pula diikuti dengan sitem politik lainnya yakni budaya politik. Ini karena, bagaimanapun, bekerjanya struktur dan fungsi politik akan sangat ditentukan oleh budaya politik yang melingkupinya. Dengan demikian, budaya politik mempunyai peran yang sangat penting dalam sistem politik bagi setiap sistem pemerintahan manapun.



DAFTAR PUSTAKA


Faulks, Keith. 2010. Sosiologi Politik Pengantar Kritis. Nusamedia, Bandung.

Syarbaini, Syahrial dkk. 2004. Sosiologi dan Politik. Ghalia Indonesia, Bogor.

Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. PT Buku Kita, Jakarta.

Tidak ada komentar: