BUDAYA
POLITIK
I. Pembuka
Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan
masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih luas. Istilah budaya politik meliputi
masalah legitimasi, pengaturan, kekuasaan, proses pembuatan kebijakan
pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak
masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Kegiatan politik juga memasuki
dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial
secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan
politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian
sumber-sumber masyarakat.
Budaya politik juga merupakan sistem nilai dan
keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat
berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para
elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Anderson (dalam Syarbaini, dkk,
2004) yang menyatakan bahwa kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam
antara kelompok elite dengan kelompok massa. Selain itu, budaya politik juga merupakan
penopang tegaknya sistem politik lainnya seperti struktur dan fungsi politik.
II. Pengertian
Almond dan Powell (dalam
Syarbaini, dkk, 2004) berpendapat bahwa budaya politik merupakan dimensi
psikologi dari sistem politik, yang mana budaya politik bersumber pada perilaku
lahiriah dari manusia yang bersumber pada penalaran-penalaran yang sadar.
Kemudian menurut Easton (dalam Winarno, 2007)
mengungkapkan bahwa budaya politik merujuk pada tindakan atau tingkah laku yang
membentuk tujuan-tujuan umum maupun khusus mereka dan prosedur-prosedur yang
mereka anggap harus diterapkan untuk meraih tujuan-tujuan tersebut. Selanjutnya
Almond (dalam Faulks, 2010) merumuskan budaya politik sebagai pola-pola khusus
orientasi tindakan politik yang mendasari semua sistem pemerintahan.
Beberapa definisi budaya
politik menurut Syarbaini, dkk (2004) sebagai berikut :
a. Budaya
politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan,
adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian
besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak
atau menerima nila-nilai dan norma lain.
b. Budaya
politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama
menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau
nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan
ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
c. Hakikat
dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip
dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah
tujuan.
d. Bentuk
budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup,
militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat.
III. Model Budaya Politik
Berdasarkan
orientasi-orientasi warga negara terhadap kehidupan politik atau budaya
politiknya, menurut Almond (dalam Winarno, 2007)
membedakan adanya tiga budaya politik. Pertama, budaya politik partisipan. Budaya
ini hidup dalam masyarakat yang orang-orangnya melibatkan diri dalam kegiatan
politik atau paling tidak dalam kegiatan pemberian suara, dan memporleh informasi
yang cukup banyak tentang kehidupan politik.
Kedua, budaya politik subjek. Budaya politik ini
ditemukan dalam masyarakat yang orang-orangya secara pasif patuh kepada
pejabat-pejabat pemerintahan dan
Undang-Undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan
suara dalam pemilihan. Ketiga, budaya politik parokial. Budaya ini hidup dalam
masyarakat dimana orang-orangnya sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan
adanya pemerintahan dan politik. Barangkali, mereka adalah orang-orang yang
buta huruf atau masyarakat yang hidup didaerah terpencil yang sama sekali tidak
sadar terhadap hak pilih dan pemerintahannya.
Berdasarkan penggolongan diatas Almond
(dalam Winarno, 2007)
merumuskan tiga model budaya politik yaitu
sistem demokratik industrial, sistem otoriter, dan sistem demokratis praindustrial.
a. Sistem
Demokratik Industrial
Dalam
sistem ini, jumlah partisipan mencapai 40-60% dari penduduk dewasa, jumlah
subjek kurang lebih dari 30%, sedangkan golongan parokial kira-kira 10%. Dalam
sistem ini, terdapat cukup banyak aktivis politik untuk mnejamin adanya
kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi suara yang besar ataupun
publik peminat yang kritis yang mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan
dan pemerintahan, dan kelompok-kelompok pendesak yang mengusulkan
kebijakan-kebijakan baru dan melindungi kepentingan khusus mereka.
b. Sistem
Otoriter
Dalam sistem ini, hanya sebagain industrial dan
sebagian modern. Dalam sistem ini juga, meskipun tedapat organisasi politik,
beberapa partisipan politik, menentang sistem itu dan berusaha mengubahnya
melalui tindakan-tindakan persuasif atau mungkin protes yang lebih agresif.
Beberapa kelompok masyarakat yang terutama berasal dari kelompok elite seperti
tuan tanah, tokoh agama, ataupun pengusaha terlibat aktif dalam mendiskusikan
pemerintahan serta terlibat aktif dalam kegiatan lobbying, tetapi sebagian besar
rakyat hanya menjadi subjek pasif.
c. Sistem
Demokratis Praindustrial
Dalam sistem ini, sebagian besar warganya hidup
dipedesaan dan buta huruf, hanya sedikit sekali partisipan politik terutama
berasal dari kalangan pengusaha, mahasiswa, dan tuan tanah.
IV. Budaya Politik Indonesia
Sebagaimana uraian mengenai model budaya politik
diatas, menurut Winarno (2007) dalam
konteks Indonesia agak sulit dibedakan secara tegas model budaya politiknya,
mengingat struktur sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang. Pada satu
sisi, terdapat warga masyarakat yang telah termodernisasikan dengan baik,
menjadi partisipan aktif dalam sistem politik dengan terlibat secara langsung
ataupun tidak langsung dalam mempengaruhi kehidupan politik. Sementara pada
sisi yang lain terdapat masyarakat yang merasa tidak mempunyai kemampuan apapun
untuk terlibat dalam kehidupan politik.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia sebenarnya
terfragmentasi ke dalam budaya politik yang berbeda-beda. Dikota-kota besar di
mana tingkat pendidikan masyarakatnya telah cukup baik barangkali lebih
didominasi oleh budaya politik partisipan, sedangkan di daerah-daerah pedesaan
dan pelosok-pelosok pegunungan budaya politik subjeklah yang lebih dominan.
Oleh karena itu, menurut Winarno (2007) budaya politik
Indonesia tampaknya kombinasi antara ketiganyalah yang paling tepat, yakni parochial-subject culture, subject-participant
culture, parochial-participant culture. Dalam hal ini, budaya politik
Indonesia bergerak di antara subject-participant
culture dan parochial- participant
culture.
Subject-participant
culture ditandai oleh menguatnya partisipasi politik
masyarakat dalam kehidupan politik terhadap input-input politik, sementara pada
waktu yang bersamaan berkembang rasa ketidakmampuan masyarakat untuk mengubah
kebijakan. Fenomena ini dapat ditemukan tidak hanya didaerah pedesaan, tetapi
juga didaerah perkotaan dimana masyarakat miskin dan termarginalkan tumbuh subur. Bahkan, kebijakan pembangunan yang
dilaksanakan oleh para penguasa politik yang berorientasi pada kebijakan
neoliberal mendorong kelompok-kelompok marginal ini semakin besar.
Parochial-participant
culture ditandai oleh menguatnya wacana kedaerahan pasca
diterapkannya otonomi daerah. Dalam hal ini, terdapat tekanan dan desakan yang
kuat dibeberapa daerah agar pemimpin-pemimpin lokal dipilih dari putra-putra
daerah. Tentunya, gejala seperti ini akan merugikan sistem politik secara
keseluruhan karena cenderung menimbulkan
konflik horizontal dan menghambat pembangunan rasa kebangsaan (national building).
Mestinya, selama wilayah-wilayah atau daerah-daerah tersebut
masih berada dalam lingkup teritorial dan dengan demikian masuk pula ke dalam wilayah
administratif politik Indonesia maka setiap individu berhak menjadi pegawai
atau pejabat dimanapun wilayah tersebut berada. Pemdedaan putra lokal dan bukan
putra lokal menjadi tidak relevan. Sebaliknya, ukuran terletak pada
kapabilitas, profesionalitas, dan integritas orang tersebut untuk menjadi
pemimpin. Dalam sistem politik demokrasi, layak tidaknya seseorang untuk
menjadi pemimpin adalah kemampuannya dan bukan pada asal-usul orang tersebut.
V. Simpulan
Setiap sistem
politik mempunyai tujuan-tujuan bersama-sama yang ingin diraihnya. Untuk
mencapai tujuan tersebut tidak cukup dengan hanya bekerjanya struktur dan
fungsi politik saja, tetapi harus pula diikuti dengan sitem politik lainnya
yakni budaya politik. Ini karena, bagaimanapun, bekerjanya struktur dan fungsi
politik akan sangat ditentukan oleh budaya politik yang melingkupinya. Dengan
demikian, budaya politik mempunyai
peran yang sangat penting dalam sistem politik bagi setiap sistem pemerintahan
manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Faulks,
Keith. 2010. Sosiologi Politik Pengantar Kritis. Nusamedia, Bandung.
Syarbaini,
Syahrial dkk. 2004. Sosiologi dan Politik. Ghalia Indonesia, Bogor.
Winarno,
Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. PT Buku Kita, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar